Rabu, 31 Maret 2010

KETIKA DOSA SEDALAM SAMUDRA

Pernahkah kita menghitung dosa yang kita lakukan dalam satu hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun bahkan sepanjang usia kita ?

Andaikan saja kita bersedia menyediakan satu kotak kosong, lalu kita masukkan semua dosa-dosa yang kita lakukan, kira-kira apa yang terjadi ? Saya menduga kuat bahwa kotak tersebut sudah tak berbentuk kotak lagi, karena tak mampu menaham muatan dosa kita.

Bukankah shalat kita masih "bolong-bolong" ? Bukankah pernah kita tahan hak orang miskin yang ada di harta kita ? Bukankah pernah kita kobarkan rasa dengki dan permusuhan kepada sesama muslim ? Bukankah kita pernah melepitkan selembar amplop agar urusan kita lancar ? Bukankah pernah kita terima uang tak jelas statusnya sehingga pendapatan kita berlipat ganda ? Bukankah kita tak mau menolong saudara kita yg dalam kesulitan walaupun kita sanggup menolongnya ?

Daftar ini akan menjadi sangat panjang… …

Lalu, apa yang harus kita lakukan ?
Allah berfirman dalam Surat az-Zumar [39]: 53 "Katakanlah: "Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Indah benar ayat ini, Allah menyapa kita dengan panggilan yang bernada teguran, namun tidak diikuti dengan kalimat yang berbau murka. Justru Allah mengingatkan kita untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah. Allah pun menjanjikan untuk mengampuni dosa-dosa kita.

Karena itu, kosongkanlah lagi kotak yang telah penuh tadi dengan taubat pada-Nya.Kita kembalikan kotak itu seperti keadaan semula, kita kembalikan jiwa kita ke pada jiwa yang fitri dan nazih.

Jika anda mempunyai onta yang lengkap dengan segala perabotannya, lalu tiba-tiba onta itu hilang. Bukankah anda sedih ? Bagaimana kalau tiba-tiba onta itu datang kembali berjalan menuju anda lengkap dengan segala perbekalannya ? Bukankah Anda akan bahagia ? "Ketahuilah," kata Rasul, "Allah akan lebih senang lagi melihat hamba-Nya yang berlumuran dosa berjalan kembali menuju-Nya!"

Allah berfirman: "Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi)." (QS 39:54)
Seperti onta yang sesat jalan dan mungkin telah tenggelam di dasar samudera, mengapa kita tak berjalan kembali menuju Allah dan menangis di "kaki kebesaran-Nya" mengakui kesalahan kita dan memohon ampunNya…


Wahai Tuhan Yang Kasih Sayang-Nya lebih besar dari murka-Nya, Ampuni kami Ya Allah!

Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita semua, Amin.
Read More/Selengkapnya...

Rahasia Khusu dalam Shalat

Diambil dari Buku Kisah Penuh Hikmah 2 :


Seorang ahli ibadah bernama Isam bin Yusuf, dia sangat warak dan sangat khusyuk sholatnya. Namun dia selalu khawatir kalau-kalau ibadahnya kurang khusyuk dan selalu bertanya kepada orang yang dianggapnya lebih ibadahnya, demi untuk memperbaiki dirinya yang selalu dirasakan kurang khusyuk.
Pada suatu hari, Isam menghadiri majlis seorang abid bernama Hatim Al-Isam dan bertanya : "Wahai Aba Abdurrahman, bagaimanakah caranya tuan sholat?"

Hatim berkata : "Apabila masuk waktu solat aku berwudhu’ zahir dan batin."

Isam bertanya, "Bagaimana wudhu’ zahir dan batin itu?"

Hatim berkata, "Wudhu’ zahir sebagaimana biasa, yaitu membasuh semua anggota wudhu’ dengan air.
Sementara wudhu’ batin ialah membasuh anggota dengan tujuh perkara :-
1. Bertaubat
2. Menyesali dosa yang dilakukan
3. Tidak tergila-gilakan dunia
4. Tidak mencari / mengharap pujian orang (riya’)
5. Tinggalkan sifat berbangga
6. Tinggalkan sifat khianat dan menipu
7. Meninggalkan sifat dengki

Seterusnya Hatim berkata, "Kemudian aku pergi ke masjid, aku bersiap shalat dan menghadap kiblat. Aku berdiri dengan penuh kewaspadaan dan aku bayangkan Allah ada di hadapanku, syurga di sebelah kananku, neraka di sebelah kiriku, malaikat maut berada di belakangku, dan aku bayangkan pula bahwa aku seolah-olah berdiri di atas titian ‘Sirratul Mustaqim’ dan aku menganggap bahwa shalatku kali ini adalah shalat terakhirku, kemudian aku berniat dan bertakbir dengan baik.
Setiap bacaan dan doa dalam shalat ku fahami maknanya, kemudian aku ruku’ dan sujud dengan tawadhu’, aku bertasyahud dengan penuh pengharapan dan aku memberi salam dengan ikhlas.

Beginilah aku bershalat selama 30 tahun."
Tatkala Isam mendengar, menangislah dia karena membayangkan ibadahnya yang kurang baik bila dibandingkan dengan Hatim.

Insya Allah, Bermanfaat dan dapat dipetik Hikmahnya.
Read More/Selengkapnya...

Kenanapa Kau Buka Aib Saudara Mu

Ketika mendengar sebuah berita "miring" tentang saudara kita, apa reaksi kita pertama kali ? Kebanyakan dari kita dengan sadarnya akan menelan berita itu, bahkan ada juga yang dengan semangat meneruskannya kemana-mana.

Kita ceritakan aib saudara kita, sambil berbisik, "sst! ini rahasia lho!". Yang dibisiki akan meneruskan berita tersebut ke yang lainnya, juga sambil berpesan, "ini rahasia lho!"

Kahlil Gibran dengan baik melukiskan hal ini dalam kalimatnya, "jika kau sampaikan rahasiamu pada angin, jangan salahkan angin bila ia kabarkan pada pepohonan."

Inilah yang sering terjadi. Saya memiliki seorang rekan muslimah yang terpuji akhlaknya. Ketika dia menikah saya menghadiri acaranya. Beberapa minggu kemudian, seorang sahabat mengatakan, "saya dengar dari si A tentang "malam pertamanya" si B." Saya kaget dan saya tanya, "darimana si A tahu?" Dengan enteng rekan saya menjawab, "ya dari si B sendiri! Bukankah mereka kawan akrab…"

Masya Allah! rupanya bukan saja "rahasia" orang lain yang kita umbar kemana-mana, bahkan "rahasia kamar" pun kita ceritakan pada sahabat kita, yang sayangnya juga punya sahabat, dan sahabat itu juga punya sahabat.

Saya ngeri mendengar hadis Nabi : "Barang siapa yang membongkar-bongkar aib saudaranya, Allah akan membongkar aibnya. Barangsiapa yang dibongkar aibnya oleh Allah, Allah akan mempermalukannya, bahkan di tengah keluarganya."

Fakhr al-Razi dalam tafsirnya menceritakan sebuah riwayat bahwa para malaikat melihat di lauh al-mahfudz akan kitab catatan manusia. Mereka membaca amal saleh manusia. Ketika sampai pada bagian yang berkenaan dengan kejelekan manusia, tiba-tiba sebuah tirai jatuh menutupnya. Malaikat berkata, "Maha Suci Dia yang menampakkan yang indah dan menyembunyikan yang buruk."

Jangan bongkar aib saudara kita, supaya Allah tidak membongkar aib kita. "Ya Allah tutupilah aib dan segala kekurangan kami di mata penduduk bumi dan langit dengan rahmat dan kasih sayang-Mu, Wahai Tuhan Yang Maha Pemurah"

Insya Allah, Bermanfaat dan dapat dipetik Hikmahnya.
Read More/Selengkapnya...

Kisah "NENEK PEMUNGUT DAUN"

Kisah ini membuat bulu kuduk saya merinding. Perempuan tua dari kampung itu bukan saja mengungkapkan cinta Rasul dalam bentuknya yang tulus. Ia juga menunjukkan kerendahan hati, kehinaan diri, dan keterbatasan amal dihadapan Allah swt. Lebih dari itu, ia juga memiliki kesadaran spiritual yang luhur: Ia tidak dapat mengandalkan amalnya. Ia sangat bergantung pada rahmat Allah. Dan siapa lagi yang menjadi rahmat semua alam selain Rasulullah saw?

Insya Allah, Bermanfaat dan dapat dipetik Hikmahnya.


"Nenek Pemungut Daun"

Dahulu di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, ia pergi ke masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melakukan salat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekedarnya, ia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid. Ia mengumpulkan dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan.

Tentu saja agak lama ia membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.

Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya. Pada suatu hari Takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum perempuan tua itu datang.
Pada hari itu, ia datang dan langsung masuk masjid. Usai salat, ketika ia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, ia terkejut. Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah disapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang menjelaskan bahwa mereka kasihan kepadanya. "Jika kalian kasihan kepadaku," kata nenek itu, "Berikan kesempatan kepadaku untuk membersihkannya."

Singkat cerita, nenek itu dibiarkan mengumpulkan dedaunan itu seperti biasa.
Seorang kiai terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu. Perempuan tua itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat: pertama, hanya Kiai yang mendengarkan rahasianya; kedua, rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup.

Sekarang ia sudah meninggal dunia, dan Anda dapat mendengarkan rahasia itu.

"Saya ini perempuan bodoh, pak Kiai," tuturnya. "Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya tidak mungkin selamat pada hari akhirat tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya ucapkan satu salawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa saya membacakan salawat kepadanya."
Read More/Selengkapnya...

Selasa, 30 Maret 2010

Kisah Pembunuh 99 Orang

Telaga Hikmah

Dalam sebuah Hadits yang diketengahkan oleh Bukhari dan Muslim secara sepakat disebutkan bahwa: dahulu di kalangan orang-orang yang sebelum kalian -yakni kaum Bani Israil- ada seorang lelaki yang telah membunuh 99 orang. Lelaki ini telah berlumuran darah. Jari-jemarinya, pakaiannya, tangan, dan pedangnya, semuanya basah oleh darah, karena telah membunuh 99 orang dari kalangan orang-orang yang jiwanya terpelihara. Padahal seandainya semua penduduk bumi dan penduduk langit bersatu-padu untuk membunuh seorang lelaki muslim, tentulah Allah akan mencampakkan mereka semuanya dengan muka di bawah ke dalam neraka. Maka terlebih lagi dengan seseorang yang datang dengan pedang yang terhunus, sikap yang kejam, jahat, lagi emosi, akhirnya dia membunuh 99 orang.

Lelaki pelaku kejahatan ini telah melumuri dirinya dengan darah banyak orang dan membinasakan banyak jiwa yang diharamkan oleh Allah membunuhnya serta mencabut nyawa mereka. Sesudah dirinya berlumuran dengan kejahatan dan dosa besar ini, ia menyadari kesalahannya terhadap Allah. Ia pun berpikir tentang hari pertemuannya dengan Allah nanti, teringat saat hari kedatangannya kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan semua dosanya. Dia meyakini bahwa tiada yang mengampuni dosa, yang menghukumnya, yang menghisabnya, dan yang membenci seorang hamba karena dosa, kecuali hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Selanjutnya, ia berpikir untuk kembali dan bertaubat kepadaNya agar Dia membebaskannya dari neraka.

Maka keluarlah ia dengan pakaian yang berlumuran darah, sedang pedangnya masih meneteskan darah segar dan jari-jemarinya berbelepotan darah. Ia datang bagaikan seorang yang mabuk, terkejut, lagi ketakutan seraya bertanya-tanya kepada semua orang: “Apakah aku masih bisa diampuni?”

Orang-orang berkata kepadanya: “Kami akan menunjukkanmu kepada seorang rahib yang tinggal di kuilnya, maka sebaiknya kamu pergi ke sana dan tanyakanlah kepadanya apakah dirimu masih bisa diampuni.”

Dia menyadari bahwa tiada yang dapat memberi fatwa dalam masalah ini, kecuali hanya orang-orang yang ahli dalam hukum Allah. Ia pun pergi ke sana, ke tempat rahib itu, seorang ahli ibadah dari kalangan kaum Bani Israil yang belum pernah merasakan manisnya ilmu dan tidak pernah membekali dirinya dengan pengetahuan, penelitian, dan penguasaan terhadap masalah-masalah agama. Dia hanya melakukan ibadahnya menurut tata cara yang dibuat-buatnya sendiri tanpa ada dalil, baik dari syari’at maupun agama.

Perhatikan QS. AL-HADJlD (57): 27, yang artinya:

"Dan mereka mengada-adakan kerahiban, padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya".

Sesungguhnya agama itu bila tidak dibarengi dengan cahaya hidayah dan ilmu, sama dengan kesesatan dan bid’ah yang bertumpang-tindih antara yang satu dan yang lainnya.

Ia pun pergi dengan langkah yang cepat dengan penuh penyesalan karena dosa-dosa yang telah dilakukannya, lalu ia mengetuk pintu kuil si rahib tersebut.

Rahib tersebut mengharamkan kepada dirinya sendiri: daging, makanan yang baik, pakaian yang baik, dan kawin, padahal Allah tidak mengharamkan semuanya itu atas dirinya. Dia lakukan hal tersebut karena kejahilannya tentang maksud Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia pun keluar menyambutnya.

Lelaki pembunuh ini masuk dan ternyata pakaiannya masih berlumuran darah segar, membuat si rahib kaget dan terkejut bukan kepalang. Si rahib berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari kejahatanmu.”

Sambutan ini jelas bukan tata cara yang biasa digunakan oleh para ulama dan para da’i yang menghendaki hidayah bagi manusia, karena pintu Allah selalu terbuka; pemberiannya senantiasa datang dan pergi; pahala-Nya dianugerahkan; tangan kekuasaan*Nya senantiasa terbuka pada malam hari untuk menerima taubat orang-orang yang berdosa pada siang harinya, dan senantiasa terbuka pada siang hari untuk menerima taubat orang-orang yang berdo’a pada malam harinya, hingga matahari terbit dari arah tenggelamnya (hari Kiamat).

Si pembunuh bertanya: “Wahai rahib ahli ibadah, aku telah mem*bunuh 99 orang, maka masih adakah jalan bagiku untuk bertaubat?”

Rahib yang jahil itu spontan menjawab: “Tiada taubat bagimu!”
Mahasuci Allah, apakah engkau menutup pintu yang selalu dibuka oleh Allah? Apakah engkau memutuskan tali yang telah dijulurkan oleh Allah? Apakah engkau mencegah hujan yang telah diturunkan oleh Allah? Apakah engkau menutup jalan masuk yang telah dibuat oleh Allah?

Padahal Allahlah yang menciptakan; Allahlah yang telah menetapkan; Allahlah yang memberikan ampunan; Allahlah yang menghisab; dan Allahlah yang berbisik kepada seorang hamba pada hari yang tiada bermanfaat lagi harta benda dan anak-anak, kecuali orang yang menghadap kepada Allah dengan hati yang bersih, lalu Allah menyuruhnya mengakui dosa-dosanya, kemu*dian Allah mengampuninya jika Dia menghendaki. Maka apakah urusanmu, hai rahib, sehingga engkau ikut campur dalam urusan antara para hamba dan Tuhannya?

Apakah engkau memang seorang yang ahli untuk memberi fatwa dalam masalah ini? Bukan, engkau bukanlah seorang yang ahli dalam bidang ini. Hal ini hanya bisa ditangani oleh para ulama yang mengamalkan ilmunya lagi mengetahui tujuan syari’at-Nya.

Akhirnya, si penjahat ini putus asa memandang kehidupan ini. Di matanya dunia ini terasa gelap; kehendak dan tekadnya melemah; dan keindahan yang terlihat di wajahnya menjadi buruk. Ia pun mengangkat pedangnya dan membunuh rahib ini sebagai balasan yang setimpal untuknya guna menggenapkan 100 orang manusia yang telah dibunuhnya.

Selanjutnya, ia keluar menemui orang-orang guna menanyakan kembali kepada mereka, bukan karena alasan apa pun, melainkan karena jiwanya sangat menginginkan untuk taubat dan kembali ke jalan Tuhannya serta menghadap kepada-Nya.

Ia bertanya kepada mereka: “Masih adakah jalan untuk bertaubat bagiku?”

Mereka menjawab: “Kami akan menunjukkanmu kepada Fulan bin Fulan, seorang ulama, bukan seorang rahib, yang ahli tentang hukum Tuhan.”

Sehubungan dengan pengertian ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menegaskan*nya melalui ayat-ayat berikut, yaitu firman-Nya:

Dalam QS. AZ-ZUMAR (39): 9, yang artinya:

“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”

Dalam QS. AL-*MUJAADALAH (58): 11, yang artinya:
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat."


Dalam QS. AL-ANKABUUT (29): 49

"Sebenarnya Al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu".


Dalam QS. ALI ‘IMRAN (3): 18, yang artinya:

"Allah menyatakan bahwasanya tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu)".

si pembunuh itu pergi menemui orang alim itu yang saat itu berada di majelisnya sedang mengajari generasi dan mendidik umat.

Orang alim itu pun tersenyum menyambut kedatangannya.
Begitu melihatnya, ia langsung menyambutnya dengan hangat dan mendudukkannya di sebelahnya setelah memeluk dan menghormatinya. Ia bertanya: “Apakah keperluanmu datang kemari?”

Ia menjawab: “Aku telah membunuh 100 orang yang terpelihara darahnya, maka masih adakah jalan taubat bagiku?”

Orang alim itu balik bertanya: “Lalu siapakah yang menghalang-halangi antara kamu dengan taubat dan siapakah yang mencegahmu dari melakukan taubat? Pintu Allah terbuka lebar bagimu, maka bergembiralah dengan ampunan; bergembiralah dengan perkenan dari-Nya; dan bergembiralah dengan taubat yang mulus.”

Ia berkata: “Aku mau bertaubat dan memohon ampun kepada Allah.”

Orang alim berkata: “Aku memohon kepada Allah semoga Dia menerima taubatmu.”

Selanjutnya, orang alim itu berkata kepadanya: “Sesungguhnya engkau tinggal di kampung yang jahat, karena sebagian kampung dan sebagian kota itu adakalanya memberikan pengaruh untuk berbuat kedurhakaan dan kejahatan bagi para penghuninya. Barang siapa yang lemah imannya di tempat seperti ini, maka ia akan mudah berbuat durhaka dan akan terasa ringanlah baginya semua dosa, serta menggampangkannya untuk melakukan tindakan menen*tang Tuhannya, sehingga akhirnya ia terjerumus ke dalam kegelapan lembah dan jurang kesesatan. Akan tetapi, apabila suatu masya*rakat yang di dalamnya ditegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, maka akan tertutuplah semua pintu kejahatan bagi para hamba.”

“Oleh karena itu, keluarlah kamu dari kampung yang jahat itu menuju ke kampung yang baik. Gantikanlah tempat tinggalmu yang lalu dengan kampung yang baik dan bergaullah kamu dengan para pemuda yang shalih yang akan menolong dan membantumu untuk bertaubat.”

Si pembunuh itu pun pergi dengan langkah yang cepat dan hati yang gembira dengan berita dan pengharapan ini. Ketika ia telah berada di tengah jalan, ia jatuh sakit dan sekaratul maut datang menjemputnya.

Dalam QS. QAAF (50): 19, yang artinya:

“Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari darinya.”

Selanjutnya, dia mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah, lalu meninggal dunia. Dia belum pernah shalat, belum pernah puasa, belum pernah bershadaqah, belum pernah zakat, dan belum pernah mengerjakan kebaikan sama sekali, tetapi dia kembali kepada Allah dengan bertaubat, menyesal, berharap, dan takut kepada-Nya.

Maka datanglah malaikat rahmat dan malaikat adzab untuk mengambil dan menerima nyawanya dari malaikat maut yang mencabutnya. Mereka terlibat perselisihan yang sengit dalam memperebutkannya. Malaikat rahmat berkata: “Sesungguhnya dia datang untuk bertaubat dan menghadap kepada Allah menuju kepada kehidupan yang taat, kembali kepada Allah, dan dilahirkan kembali melalui taubatnya itu. Oleh karena itu, dia adalah bagian kami.”

Malaikat adzab berkata: “Sesungguhnya dia belum pernah melakukan suatu kebaikan pun. Dia tidak pernah sujud, Tidak pernah shalat, tidak pernah zakat, dan tidak pernah bershadaqah, maka dengan alasan apakah dia berhak mendapatkan rahmat? Bahkan dia termasuk bagian kami.”

Allah pun mengirimkan malaikat lain dari langit untuk melerai persengketaan mereka. Selanjutnya, malaikat yang baru diutus itu pun datang kepada mereka yang telah menjadi dua golongan yang bertengkar.

Malaikat yang baru berkata kepada mereka: ”Tahanlah oleh kalian. Sesungguhnya solusinya menurutku ialah hendaklah kalian sama-sama mengukur jarak antara lelaki ini dan tanah yang ia tinggalkan, yaitu kampung yang jahat, dan jarak antara dia dan kampung yang ditujunya, yaitu kampung yang baik.”

Ketika mereka sedang sama-sama mengukur, Allah memerintahkan kepada kampung yang jahat untuk menjauh dan kepada kampung yang baik untuk mendekat.

Menurut riwayat lain disebutkan bahwa sesungguhnya lelaki pembunuh 100 orang ini menonjolkan dadanya ke arah kampung yang baik. Akhirnya, mereka menjumpai mayat lelaki jahat ini lebih dekat kepada penduduk kampung yang baik dan mereka memutuskan bahwa lelaki ini adalah bagian untuk malaikat rahmat. Malaikat rahmat pun mengambilnya untuk dimasukkan ke dalam surga.
Read More/Selengkapnya...

Kamis, 25 Maret 2010

Kisah Islam ANDAIKATA LEBIH PANJANG LAGI

Seperti yang telah biasa dilakukannya ketika salah satu sahabatnya meninggal dunia Rosulullah mengantar jenazahnya sampai ke kuburan.
Dan pada saat pulangnya disempatkannya singgah untuk menghibur dan menenangkan keluarga almarhum supaya tetap bersabar dan tawakal menerima musibah itu.
Kemudian Rosulullah berkata,"tidakkah almarhum mengucapkan wasiat sebelum wafatnya?"
Istrinya menjawab, saya mendengar dia mengatakan sesuatu diantara
dengkur nafasnya yang tersengal-sengal menjelang ajal"
"Apa yang di katakannya?"
"saya tidak tahu, ya Rosulullah, apakah ucapannya itu sekedar
rintihan sebelum mati, ataukah pekikan pedih karena dasyatnya sakaratul maut. Cuma, ucapannya memang sulit dipahami lantaran
merupakan kalimat yang terpotong-potong."
"Bagaimana bunyinya?" desak Rosulullah.

Istri yang setia itu menjawab,"suami saya mengatakan " Andaikata lebih panjang lagi....andaikata yang masih baru....andaikata semuanya...." hanya itulah yang tertangkap sehingga kami bingung dibuatnya. Apakah perkataan-perkataan itu igauan dalam keadaan tidak sadar,ataukah pesan-pesan yang tidak selesai?"
Rosulullah tersenyum."sungguh yang diucapkan suamimu itu tidak keliru,"ujarnya.
Kisahnya begini. pada suatu hari ia sedang bergegas akan ke masjid untuk melaksanakan shalat jum''at. Ditengah jalan ia berjumpa dengan orang buta yang bertujuan sama. Si buta itu tersaruk-saruk karena tidak ada yang menuntun. Maka suamimu yang membimbingnya hingga tiba di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas penghabisan, ia menyaksikan pahala amal sholehnya itu, lalu iapun berkata "andaikan lebih panjang lagi".
Maksudnya, andaikata jalan ke masjid itu lebih panjang lagi, pasti pahalanyalebih besar pula.
Ucapan lainnya ya Rosulullah?"tanya sang istri mulai tertarik.
Nabi menjawab,"adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala, ia melihat hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya, waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi, sedangkan cuaca dingin sekali, di tepi jalan ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil, hampir mati kedinginan. Kebetulan suamimu membawa sebuah mantel baru, selain yang dipakainya. Maka ia mencopot mantelnya yang lama, diberikannya kepada lelaki tersebut. Dan mantelnya yang baru lalu
dikenakannya. Menjelang saat-saat terakhirnya, suamimu melihat
balasan amal kebajikannya itu sehingga ia pun menyesal dan
berkata, "Coba andaikan yang masih yang kuberikan kepadanya dan bukan mantelku yang lama, pasti pahalaku jauh lebih besar lagi".Itulah yang dikatakan suamimu selengkapnya.
Kemudian, ucapannya yang ketiga, apa maksudnya, ya Rosulullah?" tanya sang istri makin ingin tahu. Dengan sabar Nabi menjelaskan,"ingatkah kamu pada suatu ketika suamimu datang dalam keadaan sangat lapar dan meminta disediakan makanan? Engkau menghidangkan sepotong roti yang telah dicampur dengan daging. Namun, tatkala hendak dimakannya, tiba- tiba seorang musyafir mengetuk pintu dan meminta makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong, yang sebelah diberikan kepada musyafir itu. Dengan demikian, pada waktu suamimu akan nazak, ia menyaksikan betapa besarnya pahala dari amalannya itu. Karenanya,
ia pun menyesal dan berkata '' kalau aku tahu begini hasilnya,
musyafir itu tidak hanya kuberi separoh. Sebab andaikata semuanya kuberikan kepadanya, sudah pasti ganjaranku akan berlipat ganda.
Memang begitulah keadilan Tuhan. Pada hakekatnya, apabila kita
berbuat baik, sebetulnya kita juga yang beruntung, bukan orang lain. Lantaran segala tindak-tanduk kita tidak lepas dari penilaian Allah. Sama halnya jika kita berbuat buruk. Akibatnya juga akan menimpa kita sendiri.Karena itu Allah mengingatkan: "kalau kamu berbuat baik,
sebetulnya kamu berbuat baik untuk dirimu. Dan
jika kamu berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu
pula."
surat Al Isra'':7)
Read More/Selengkapnya...

MENGAKUI KEKURANGAN DIRI

Awal malapetaka dan kehancuran seseorang terjadi ketika penyakit sombong dan merasa diri paling benar bersemayam dalam hatinya. Inilah sifat yang melekat pada iblis. Sifat inilah yang berusaha ditransfer iblis kepada manusia yang bersedia menjadi sekutunya.
Sifat ini ditandai dengan ketidaksiapan untuk menerima kebenaran yang datang dari pihak lain; keengganan melakukan introspeksi (muhasabah); serta sibuk melihat aib dan kesalahan orang lain tanpa mau melihat aib dan kekurangan diri sendiri.

Padahal, kebaikan hanya bisa terwujud manakala seseorang bersikap rendah hati (tawadu); mau menyadari dan mengakui kekurangan diri; melakukan introspeksi; serta siap menerima kebenaran dari siapa pun dan dari mana pun. Sikap seperti ini sebagaimana dicontohkan oleh orang-orang mulia dari para nabi dan rasul
Nabi Adam AS dan Siti Hawa saat melakukan kesalahan dengan melanggar larangan Tuhan, alih-alih sibuk menyalahkan iblis yang telah menggoda dan memberikan janji dusta, mereka malah langsung bersimpuh mengakui segala kealpaan seraya berkata, “Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Al-A’raf [7]: 23).
Demikian pula dengan Nabi Yunus AS saat berada dalam gelapnya perut ikan di tengah lautan. Ia tidak menyalahkan siapa pun, kecuali dirinya sendiri, seraya terus bertasbih menyucikan Tuhan-Nya. Ia berkata, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau. Sesunguhnya, aku termasuk orang-orang yang zalim.” (QS Al-Anbiya [21]: 87).
Bahkan, Nabi Muhammad SAW selalu membaca istigfar dan meminta ampunan kepada Allah SWT sebagai bentuk kesadaran yang paling tinggi bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Karena itu, ia harus selalu melakukan introspeksi. Beliau bersabda, “Wahai, manusia, bertobatlah dan mintalah ampunan kepada-Nya. Sebab, aku bertobat sehari semalam sebanyak seratus kali.” (HR Muslim).
Begitulah sikap arif para nabi yang patut dijadikan teladan. Mereka tidak merasa diri mereka sudah sempurna, bersih, dan suci. Allah SWT berfirman, “Janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui orang yang bertakwa.” (QS Annajm [53]: 32).
Karena itu, daripada mengarahkan telunjuk kepada orang, lebih baik mengarahkan telunjuk kepada diri sendiri. Daripada sibuk melihat aib orang, alangkah bijaknya kalau kita sibuk melihat aib sendiri. Dalam Musnad Anas ibn Malik RA, Nabi SAW bersabda, “Beruntunglah orang yang sibuk melihat aib dirinya sehingga tidak sibuk dengan aib orang lain.” (Oleh Fauzi Bahreisy, sumber: republika.com)
Read More/Selengkapnya...

Rabu, 24 Maret 2010

HARGAI APA YANG KITA MILIKI

Hargai Apa Yang Kita Miliki


Pernahkah kita mendengar kisah Helen Kehler?
Dia adalah seorang perempuan yang dilahirkan
dalam kondisi buta dan tuli.

Karena cacat yang dialaminya, dia tidak bisa
membaca, melihat, dan mendengar. Nah, dlm
kondisi seperti itulah Helen Kehler dilahirkan.

Tidak ada seorangpun yang menginginkan
lahir dalam kondisi seperti itu. Seandainya
Helen Kehler diberi pilihan, pasti dia akan
memilih untuk lahir dalam keadaan normal.

Namun siapa sangka, dengan segala
kekurangannya, dia memiliki semangat hidup
yang luar biasa, dan tumbuh menjadi seorang
legendaris.

Dengan segala keterbatasannya, ia mampu
memberikan motivasi dan semangat hidup
kepada mereka yang memiliki keterbatasan
pula, seperti cacat, buta dan tuli.

Ia mengharapkan, semua orang cacat seperti
dirinya mampu menjalani kehidupan seperti
manusia normal lainnya, meski itu teramat sulit
dilakukan.

Ada sebuah kalimat fantastis yang pernah
diucapkan Helen Kehler:

"It would be a blessing if each person
could be blind and deaf for a few days
during his grown-up live. It would make
them see and appreciate their ability to
experience the joy of sound".

Intinya, menurut dia merupakan sebuah anugrah
bila setiap org yang sudah menginjak dewasa
itu mengalami buta dan tuli beberapa hari saja.

Dengan demikian, setiap orang akan lebih
menghargai hidupnya, paling tidak saat
mendengar suara!

Sekarang, coba kita bayangkan sejenak....

...... kita menjadi seorang yang buta
dan tuli selama dua atau tiga hari saja!

Tutup mata dan telinga selama rentang waktu
tersebut. Jangan biarkan diri kita melihat
atau mendengar apapun.

Selama beberapa hari itu kita tidak bisa
melihat indahnya dunia, kita tidak bisa
melihat terangnya matahari, birunya langit, dan
bahkan kita tidak bisa menikmati musik/radio
dan acara tv kesayangan!

Bagaimana kita? Apakah beberapa hari cukup berat?
Bagaimana kalau dikurangi dua atau tiga jam saja?

Saya yakin hal ini akan mengingatkan siapa saja,
bahwa betapa sering kita terlupa untuk bersyukur
atas apa yang kita miliki. Kesempurnaan yang ada
dalam diri kita!

Seringkali yang terjadi dalam hidup kita adalah
keluhan demi keluhan.... Hingga tidak pernah
menghargai apa yang sudah kita miliki.

Padahal bisa jadi, apa yang kita miliki merupakan
kemewahan yang tidak pernah bisa dinikmati
oleh orang lain. Ya! Kemewahan utk orang lain!

Coba kita renungkan, bagaimana orang yang
tidak memiliki kaki? Maka berjalan adalah sebuah
kemewahan yang luar biasa baginya.

Helen Kehler pernah mengatakan, seandainya ia
diijinkan bisa melihat satu hari saja, maka ia yakin
akan mampu melakukan banyak hal, termasuk
membuat sebuah tulisan yang menarik.

Dari sini kita bisa mengambil pelajaran, jika kita
mampu menghargai apa yang kita miliki, hal-hal
yang sudah ada dalam diri kita, tentunya kita akan
bisa memandang hidup dengan lebih baik.

Kita akan jarang mengeluh dan jarang merasa susah!
Malah sebaliknya, kita akan mampu berpikir positif
dan menjadi seorang manusia yang lebih baik.
Read More/Selengkapnya...

DZIKIR MAUT

Kali ini saya mau sama-sama beajar ttg mengingat kematian. Bagaimana menyikapi sebuah kematian yang memang pasti akan datang dan bagaimana nasehat ampuh untuk bekal hidup kita. Ada sebuah hadist yg diriwayatkan At Thabrani …: Perbanyaklah mengingat sesuatu yag melenyapkan semua kelezatan, yaitu kematian. Berbahagialah hamba-hamba Allah yang senantiasa bercermin dari kematian. Tak ubahnya seperti guru yang baik, kematian memberikan banyak pelajaran, membingkai makna hidup, bahkan mengawasi alur kehidupan agar tak lari menyimpang.

Nilai-nilai pelajaran yang ingin diungkapkan guru kematian begitu banyak, menarik, bahkan menenteramkan. Di antaranya adalah apa yang mungkin sering kita rasakan dan lakukan.
1. Kematian mengingatkan bahwa waktu sangat berharga
Tak ada sesuatu pun buat seorang mukmin yang mampu mengingatkan betapa berharganya nilai waktu selain kematian. Tak seorang pun tahu berapa lama lagi jatah waktu pentasnya di dunia ini akan berakhir. Sebagaimana tak seorang pun tahu di mana kematian akan menjemputnya.
Ketika seorang manusia melalaikan nilai waktu pada hakekatnya ia sedang menggiring dirinya kepada jurang kebinasaan. Karena tak ada satu detik pun waktu terlewat melainkan ajal kian mendekat. Allah swt mengingatkan itu dalam surah Al-Anbiya ayat 1, “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).”
Pernahkan kita mencoba membisikkan dalam hati kita bahwa … siapa tahu besok/nanti mlm kita meninggal? padahal pekerjaan kita masih banyak yg tertunda dan sengaja ditunda, pekerjaan kewajiabn
Ketika jatah waktu terhamburkan sia-sia, dan ajal sudah di depan mata. Tiba-tiba, lisan tergerak untuk mengatakan, “Ya Allah, mundurkan ajalku sedetik saja. Akan kugunakan itu untuk bertaubat dan mengejar ketinggalan.” Tapi sayang, permohonan tinggallah permohonan. Dan, kematian akan tetap datang tanpa ada perundingan.
Allah swt berfirman dalam surah Ibrahim ayat 44, “Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang zalim: ‘Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul….”
2. Kematian mengingatkan bahwa kita bukan siapa-siapa
Kalau kehidupan dunia bisa diumpamakan dengan pentas sandiwara, maka kematian adalah akhir segala peran. Apa pun dan siapa pun peran yang telah dimainkan, ketika sutradara mengatakan ‘habis’, usai sudah permainan. Semua kembali kepada peran yang sebenarnya.
Sebagus-bagusnya peran yang kita mainkan, tak akan pernah melekat selamanya. Silakan kita bangga ketika dapat peran sebagai orang kaya. Silakan kita menangis ketika berperan sebagai orang miskin yang menderita. Tapi, bangga dan menangis itu bukan untuk selamanya. Semuanya akan berakhir. Dan, peran-peran itu akan dikembalikan kepada sang sutradara untuk dimasukkan kedalam laci-laci peran.
Teramat naif kalau ada manusia yang berbangga dan yakin bahwa dia akan menjadi orang yang kaya dan berkuasa selamanya. Pun begitu, teramat naif kalau ada manusia yang merasa akan terus menderita selamanya. Semua berawal, dan juga akan berakhir. Dan akhir itu semua adalah kematian.
3. Kematian mengingatkan bahwa kita tak memiliki apa-apa
Fikih Islam menggariskan kita bahwa tak ada satu benda pun yang boleh ikut masuk ke liang lahat kecuali kain kafan. Siapa pun dia. Kaya atau miskin. Penguasa atau rakyat jelata Semuanya akan masuk lubang kubur bersama bungkusan kain kafan. Cuma kain kafan itu. Itu pun masih bagus. Karena, kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa. Cuma tubuh kecil yang telanjang. Lalu, masih layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri ketika kita meraih keberhasilan. Masih patutkah kita membangga-banggakan harta dengan sebutan kepemilikan. Kita datang dengan tidak membawa apa-apa dan pergi pun bersama sesuatu yang tak berharga.
Ternyata, semua hanya peran. Dan pemilik sebenarnya hanya Allah. Ketika peran usai, kepemilikan pun kembali kepada Allah. Lalu, dengan keadaan seperti itu, masihkah kita menyangkal bahwa kita bukan apa-apa. Dan, bukan siapa-siapa. Kecuali, hanya hamba Allah. Setelah itu, kehidupan pun berlalu melupakan peran yang pernah kita mainkan.
4. Kematian mengingatkan bahwa hidup sementara
Kejayaan dan kesuksesan kadang menghanyutkan anak manusia kepada sebuah khayalan bahwa ia akan hidup selamanya. Hingga kapan pun. Seolah ia ingin menyatakan kepada dunia bahwa tak satu pun yang mampu memisahkan antara dirinya dengan kenikmatan saat ini.
Ketika sapaan kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga yang kian berkurang, wajah yang makin keriput, barulah ia tersadar. Bahwa, segalanya akan berpisah. Dan pemisah kenikmatan itu bernama kematian. Hidup tak jauh dari siklus: awal, berkembang, dan kemudian berakhir.
5. Kematian mengingatkan bahwa hidup begitu berharga
Seorang hamba Allah yang mengingat kematian akan senantiasa tersadar bahwa hidup teramat berharga. Hidup tak ubahnya seperti ladang pinjaman. Seorang petani yang cerdas akan memanfaatkan ladang itu dengan menanam tumbuhan yang berharga. Dengan sungguh-sungguh. Petani itu khawatir, ia tidak mendapat apa-apa ketika ladang harus dikembalikan.
Mungkin, inilah maksud ungkapan Imam Ghazali ketika menafsirkan surah Al-Qashash ayat 77, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) dunia…” dengan menyebut, “Ad-Dun-ya mazra’atul akhirah.” (Dunia adalah ladang buat akhirat)
Orang yang mencintai sesuatu takkan melewatkan sedetik pun waktunya untuk mengingat sesuatu itu. Termasuk, ketika kematian menjadi sesuatu yang paling diingat. Dengan memaknai kematian, berarti kita sedang menghargai arti kehidupan.
Allahu’alam bisshowab.
Allah memberi kita hati….memberi kita panca indera… memberi iita kehidupan… dimana didalamnya terdapat banyak peristiwa…. dari lahir sampai mati
Read More/Selengkapnya...

Rabu, 10 Maret 2010

Mengelola Iri Hati

Demikian pepatah yang sudah sering kita dengar. Sayangnya, walau kita semua telah mengerti betul arti pepatah itu, tetap saja godaan untuk iri senantiasa mengintai dari segala sisi.
Hidup ini memang penuh pembandingan. Apa saja bisa kita bandingkan, wajah kita ini, kepintaran kita, duit kita, juga berkilau tidaknya kendaraan kita. Wajar dalam hidup ini untuk membandingkan, karena tanpa itu kita tidak tahu dimana posisi pencapaian kita selama ini. Tentu saja sama dengan semua orang, terkadang saya juga iri hati.

Setelah direnungkan lebih dalam, ada tiga bentuk iri : iri positif, iri negatif, dan iri merusak (dengki).
Iri positif adalah perasaan iri karena orang lain telah mencapai sesuatu, yang menyebabkan kita merasa cemburu kenapa kita kok tidak berprestasi seperti itu? Ini jenis iri yang bisa menggerakkan orang untuk maju, ingin mencapai seperti apa yang diirikannya. Saya iri dengan kolega saya yang mencapai jenjang professor, saya iri dengan rekan saya yang bisnisnya terus berkembang, saya juga iri dengan mereka yang sudah ngaji di masjid sebelum adzan shubuh menggema (artinya mereka sudah shalat malam). Saya iri kepada semua itu, kenapa saya belum bisa seperti mereka? Kenapa saya masih seperti ini-ini saja?
Yang kedua adalah iri negatif, inilah kecemburuan karena orang lain memiliki sesuatu yang berakibat kita kehilangan rasa gembira dalam hati kita. Misalnya teman kita berbisnis dan sukses, dan kita tidak diajak. Kita sedih dan iri. Seringjuga kita iri melihat pasangan orang lain lebih cantik atau lebih tampan, rumahnya lebih besar, senang-senangnya lebih banyak, dan karirnya lebih cemerlang. Apa bedanya dengan iri positif? Bedanya, iri negatif ini bukannya menumbuhkan dorongan untuk mencapai hal yang sama, namun justru menghilangkan kegembiraan sehingga hati mengalami kekosongan. Yang muncul adalah perasaan bertanya-tanya, “Tuhan kenapa aku tidak kau beri yang seperti itu?” Kalau kita mengalami iri, lalu kita ingin mencapai prestasi seperti orang lain, itu berarti iri positif. Kalau kita iri, lalu kita menjadi kesal dan marah-marah kepada Tuhan, nah ini yang namanya iri negatif! Yang positif akan menumbuhkan dorongan untuk maju, yang negatif justru menghilangkan kegembiraan dan hanya menumbuhkan kekesalan.
Yang ketiga adalah iri merusak (dengki), inilah jenis iri negatif yang disertai dengan harapan dalam hati agar sesuatu yang membuat iri tersebut hancur. Misalnya iri melihat orang lain karirnya begitu cemerlang, lalu muncul dalam hati ini sebuah harapan agar orang tersebut terkena batunya dan berakibat karirnya anjlok kembali. Jenis dengki ini akan disertai kegembiraan yang luar biasa manakala orang lain yang diirikannya mengalami musibah dengan kehilangan nikmat yang membuat iri tersebut. Misalnya iri melihat teman kerja punya istri cantik, lalu ketika istri cantik itu mengalami sakit leukemia, eh si dengki ini menjadi terhibur, syukurin luh begitu kata hatinya. Jelas orang pendengki ini sangatlah jahat, karena harapannya tersebut bisa menjadi energi negatif yang terpancarkan kepada orang lain. Itulah sebabnya dalam kitab suci Al Qur’an surat Al Falaq terkandung doa berlindung dari kebencian orang yang dengki (hasad) seperti ini.
Jadi boleh tidak kita iri dengan orang lain yang punya pasangan cantik misalnya? Ya boleh! Pertanyaannya adalah apakah iri itu menimbulkan dorongan untuk memiliki pasangan cantik (dan karena itu Anda bersungguh-sungguh mencarinya), atau hanya menimbulkan kekesalan kepada Tuhan karena tak juga memberi Anda pasangan yang cantik, atau yang paling berbahaya adalah menjadi dengki dengan orang lain yang punya pasangan cantik (karena kita kebetulan naksir gadis yang sama!) sehingga muncul dalam hati ini agar nikmat orang tersebut hancur berantakan (semoga pisah lagi, demikian doa orang yang dengki). Contoh pasangan cantik ini diambil karena iri hati ini paling mudah muncul ketika membanding-bandingkan pasangan. Harta, tahta, dan wanita kabarnya adalah hal yang paling banyak diinginkan orang sehingga menjadi sumber paling utama dari munculnya rasa iri, positif maupun negatif.

Penawar iri
Jadi bagaimana kalau kita dihinggapi rasa iri? Sebuah jawaban yang membuat saya terkesan ada di buku karya ulama Al-Ghazali yang kalau tidak salah berjudul Rahasia Shalat. Diceritakan tentang seorang raja yang berkeliling di wilayahnya dan kemudian bertemu dengan seorang rakyatnya yang miskin papa. Alkisah, si raja yang baik hati itu kemudian memberikan rumah kepada orang tersebut. Tak lama kemudian datanglah orang lain yang juga miskin papa, kali ini sang raja memberinya seekor kuda putih yang sangat bagus.

Lalu orang pertama tersebut protes kepada raja, “Raja, kenapa kau beri orang itu kuda putih yang bagus?”

“Memangnya kenapa?” tanya raja keheranan.

“Raja,” kata orang pertama tadi,” bukankah aku yang punya rumah lebih pantas bila juga memiliki kuda putih itu? Bukankah lebih pantas bila kuda dipasangkan dengan rumah sehingga menjadi lengkap?” demikian jelas orang tersebut.
Apa yang Anda rasakan ketika mendengar argumen orang ini? Memalukan! Jelas sangat tidak pantas, seseorang yang hanya diberi rumah (sudah untung diberi rumah oleh raja, dan itu juga karena kemurahan hati sang raja bukan karena prestasi orang tersebut), eh masih pula minta kuda. Benar-benar tak tahu malu, diberi hati minta ampela. Memangnya dia punya prestasi apa sehingga sang raja ‘wajib’ memberi pula dia kuda? Memangnya apakah salah kalau raja memberikan kuda putihnya untuk orang lain? Kalaupun dia berprestasi, memangnya raja harus memberi kuda? Memangnya raja sudah janji demikian?
Itulah analogi yang pas sekali dengan kehidupan kita ini. Selama ini semua yang kita dapat dan kita miliki sering dianggap murni prestasi kita. Memangnya Tuhan tidak punya peran? Selama ini juga kita selalu merasa berhak atas suatu hasil sesuai dengan keinginan kita. Memangnya Tuhan menjanjikan secara jelas hal itu? Kalau kita pintar, memangnya Tuhan menjanjikan kita akan kaya? Kalau kita tampan, memangnya Tuhan berjanji memberi istri cantik? Bahkan kalau kita berdoa memangnya Tuhan janjikan akan dikabulkan selalu dalam bentuk yang kita minta? Tidak ada janji seperti itu. Yang ada adalah, bila kita berilmu maka Allah akan mengangkat derajat kita, dan itu bukan berarti berwujud kekayaan. Derajat yang tinggi (di mata Tuhan) bukan berwujud kekayaan, pangkat yang tinggi, atau ketenaran. Kalau menurut saya, derajat yang tinggi salah satunya adalah nama baik seseorang, yang karena keberadaannya itu orang lain di sekitarnya menjadi senang dan diam-diam bersyukur karena orang tersebut ada dan mendoakannya. Itulah janji yang Tuhan berikan, bahwa orang yang berilmu akan ditinggikan derajatnya. Janji Tuhan lainnya adalah kalau kita bertakwa, maka akan diberi jalan keluar dari kesulitan dan rizki dari arah yang tak disangka-sangka. Janji Tuhan juga bila kita meminta pasti dikabulkan, asalkan kita menjalankan perintah-Nya, namun tidak dijanjikan diberi dalam bentuk seperti kemauan kita. Tidak pernah Tuhan janjikan wujud-wujud fisik, namun yang dijanjikan adalah yang non-fisik seperti derajat di mata Tuhan dan pertolongan atas kesulitan-kesulitan dalam kehidupan. Dan janji Tuhan itu pasti ditepati.
Jadi kalau kita mengalami iri negatif (berupa munculnya protes kepada Tuhan kenapa kita tidak diberi nikmat seperti orang lain, atau bahkan dengki yaitu harapan agar orang lain kehilangan nikmat yang dimiliki) tentu ini disebabkan karena : kita merasa berhak atas nikmat itu! Perasaan ini bisa muncul dari kesombongan (merasa lebih baik daripada orang lain), serta menganggap dunia ini serba berkekurangan (sehingga kalau nikmat itu sudah jatuh ke orang lain, maka akan berkurang jatah nikmat untuk kita).

Ada tiga kiat sederhana untuk mengelola iri hati.
Kiat pertama, cukup dengan bertanya kepada diri sendiri, “Memangnya siapa aku ini, boleh merasa lebih tahu dari Tuhan?” Memangnya siapa aku ini yang bisa menganggap bahwa wajah tampan harus ketemu wajah cantik, otak pintar ketemu dengan pangkat tinggi, kerja keras harus ketemu dengan kekayaan? Memangnya siapa aku ini merasa punya hak menuntut hadiah dari ‘Sang Raja’ sesuka-suka hati?
Dulu sekali ada teman saya yang berwajah biasa-biasa saja, eh istrinya cantik. Hebohlah teman-teman yang lain (termasuk juga saya, haha). Lalu saya berpikir, emangnya siapa saya yang merasa pantas menilai si anu harus menikah dengan si anu. Si anu karena cantik mestinya memilih si anu yang tampan, biar pantas. Sejelek-jeleknya milih saya saja, jangan si itu. De el el. Memangnya siapa saya ini, yang bisa membuat keputusan bagi orang lain (ya si gadis cantik itu) dalam menentukan cintanya? Memangnya siapa saya ini, yang pantas menilai bahwa si anu itu karena tidak tampan maka tidak berhak istrinya cantik? De el el. Jadilah saya sadar diri, ini gangguan iri negatif, isi hasutan buruk dalam hati. Astaghfirullah. Kalau memang ingin, ya cari, usaha saja, nggak usah iri.
Kiat kedua, kita harus yakin bahwa nikmat Tuhan itu berkelimpahan. Dunia ini serba berkelimpahan. Kalaupun banyak orang lain sudah diberi nikmat, Tuhan masih punya banyak jatah stok buat kita ini. Tuhan Maha Kaya, tak pernah kekurangan. Jadi tak pelu bersikap negatif dengan milik orang lain, biar saja, toh masih banyak stok buat kita. Pertanyaannya adalah, harus menjadi seperti apa kita agar Tuhan memberi hadiah nikmat yang sama buat kita? Biarkan saja orang lain dengan apa yang dimilikinya, kalau juga ingin lebih baik kita fokus pada mengusahakan nikmat buat kita sendiri. Dunia ini berkelimpahan. Kalau rumput tetangga tampak lebih hijau, coba evaluasi jangan-jangan kita memang tidak merawat rumput kita dengan baik. Sirami dong. Kalau ternyata memang tanah kita tandus, ya dipupuk, kalau memang susah dipupuk, ya berhijrahlah (berpindahlah), siapa suruh Anda di situ? Jangan-jangan rumput kitapun sama hijaunya, tapi kita tidak sadar!
Pernah saya berpikir, kok saya ini milih kerja jadi guru. Kan enak kalau kerja di perusahaan besar. Seorang teman pernah berkomentar, “Orang sepintar kamu ini karirnya pasti bagus di perusahaan besar,” katanya memberi sugesti. Lah, jangan-jangan iya! Tapi, jangan-jangan tidak juga. Saya memiliki ‘kemewahan-kemewahan’ saya sendiri dengan kondisi yang sekarang, yang mungkin akan berbeda ketika bekerja di perusahaan besar itu. Tapi, jangan-jangan di perusahaan besar juga memang betul enak kondisinya (jadinya saya iri). Nah, kan sama-sama tidak tahu. Jadi, kalau memang tidak puas dengan kondisi sekarang (karena tanahnya tandus), dan tidak juga menemukan cara membuat lebih enak (dipupuk tetap tandus), ya pindah saja. Memangnya siapa suruh saya di sini? Ternyata jawabannya : saya yang memilih untuk di sini, jadi guru. Dan setiap pilihan membawa konsekuensinya masing-masing. Kalau tidak suka dengan konsekuensinya, ya silahkan pindah saja, dunia ini luas.
Kiat ketiga. Pilih-pilih apa yang membuat kita iri. Maksudnya, pilih saja sesuatu yang bisa kita pengaruhi kondisinya. Misalnya, iri terhadap prestasi orang lain. Prestasi bergantung pada usaha kita, jadi kalau kita iri terhadap prestasi orang lain kita bisa mengusahakan hal yang sama seperti orang lain itu. Yang salah misalnya, iri pada ketampanan Tom Cruise. Ketampanan itu sudah pemberian dari sono, sedikit sekali pengaruh dari usaha kita.
Secara tak sadar kita sering membandingkan, wah si anu mobilnya bagus, dia memang kerja di Telkomsel (misalnya). Kalau Anda juga di Telkomsel tentunya Anda layak membandingkan demikian. Kalau tidak di Telkomsel, ya jangan dibandingkan, kondisinya beda kok. Kalau Anda dosen, ya pantasnya membandingkan diri dengan dosen yang lain. Kalau Anda karyawan perusahaan besar, ya bolehlah membandingkan dengan karyawan yang lain. Tentu saja kita pilih pembandingan yang bisa kita pengaruhi, dengan tujuan untuk mendorong diri kita ini agar juga punya prestasi yang sama. Memilih untuk membandingkan kecantikan atau ketampanan pasangan termasuk jenis pembandingan yang keliru. Kan setiap orang dikaruniai fisik yang berbeda dan kondisi yang beda? Nah, ketampanan itu adalah sesuatu yang unik sehingga tak layak dibandingkan. Lebih tepat kalau kita membandingkan bahwa si anu itu merawat diri (berhias, tampil cerah), yang kemudian kita ikuti dengan prestasi yang sama (merawat diri, tampil cerah). Karena mampu kita pengaruhi, maka iri hati tersebut dapat kita ubah menjadi iri positif.

Jadi 3 kiat sederhana itu adalah : rendah hati terhadap pemberian Tuhan (jangan suka menilai, bertindaklah netral), yakin nikmat itu berlimpah (masih banyak nikmat buat kita, hindari dengki), dan benar memilih pembandingan yang layak (yaitu yang bisa kita pengaruhi).
Iri itu boleh kok. Iri hati positif itu boleh, sedangkan iri hati negatif itu yang dilarang. Jadi, kalau kita mengalami rasa iri, yang perlu kita lakukan adalah menyadari bahwa boleh jadi kita ini memang belum pantas atas nikmat itu. Yah, mungkin saja karena berbagai hal yang kita tidak tahu, dan Tuhan yang lebih tahu tentang itu. Selanjutnya, kita coba ubah semua bentuk iri negatif itu menjadi iri positif, yaitu dorongan untuk berprestasi maksimal yang mudah-mudahan membuat Tuhan berkenan lalu memberi kita hadiah yang sama. Iri positif itu dianjurkan loh, bukankah ada hadits, “Berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan.” Nah, kalau iri terhadap prestasi amal orang lain, jelas ini iri yang sangat positif.

Jadi, selamat menjadi iri, iri yang positif!
Read More/Selengkapnya...

KETIKA DOA TAK KUNJUNG TERKABUL

Sering kita merasa lelah dalam berdoa, rasanya apa yang kita pinta tak kunjung dikabulkan. Sebenarnya di dalam Qur’an, Allah sudah menjanjikan bahwa setiap doa akan dikabulkan. Hanya saja kta tidak tahu, dalam bentuk apa wujud terbaik dari terkabulnya doa kita, dan juga kapan doa itu dikabulkan.

Ketika merasa lelah berdoa, saya mengingat dua kisah.

Yang pertama, kisah Tsa’labah. Dia seorang miskin yang minta kepada Rasulullah saw untuk dido’akan agar manjadi kaya (di sini ada pelajaran bahwa minta di do’akan orang lain adalah boleh, juga bahwa bisa jadi do’a sekelompok orang lebih makbul karena suatu kondisi istimewa tertentu).

Rasulullah sempat menolak dua kali. Karena Tsa’labah terus mendesak, akhirnya pada permintaan ke tiga dia di do’akan. Bukan Rasulullah yang menjadikan Tsa’labah kaya, tapi beliau hanya turut mendo’akan. Alkisah, ternak kambing Tsa’labah mendadak berkembang biak dengan sangat cepat (pelajaran berikutnya: uang tidak turun dari langit, jadi tetap ada usaha, dalam hal ini Tsa’labah punya bibit modal kaya yaitu ternak kambing). Tsa’labah kemudian menjadi kaya. Saking banyaknya ternak dia, maka dia menggembala hingga keluar kota. Akibatnya dia sering terlambat sholat Jum’at, bahkan akhirnya tidak sholat Jum’at.

Seingat saya, kisah Tsa’labah berakhir menyedihkan. Kalau tidak salah, dimulai saat Tsa’labah tidak membayar zakat (?) yang menyebabkan Rasulullah tidak mau menemui Tsa’labah hingga wafatnya Rasulullah. Kemudian Abu Bakar dan Umar sebagai khalifah berikutnya juga tidak mau menerima zakat dari Tsa’labah. Akhirnya Tsa’labah mati merana di masa Umar.

Boleh jadi yang kamu ngotot inginkan memang berpotensi besar menyeret ke dalam kehancuran, karena tidak sesuai dengan karakter dan keadaan seseorang (pelajaran: boleh jadi sesuatu belum dikabulkan karena kita sendiri belum siap untuk menerima hal itu). Demikian pelajaran dari kisah Tsa’labah.
Kisah kedua, lebih mengagumkan. Inilah kisah Ayyub a.s. seorang rasul. Dia seorang kaya yang sangat bersyukur kepada Tuhannya. Kemudian dia diuji dengan kehancuran fisik.

Ayyub adalah seorang kaya dermawan yang shaleh. Dikisahkan bahwa Allah menguji Ayyub dengan kehilangan semua miliknya, terutama harga diri yang direndahkan serendah-rendahnya. Rumahnya roboh, anak-anaknya mati. Ayyub diuji dengan penyakit kulit yang menjijikkan hingga tubuhnya berbau busuk. Hartanya ludes untuk pengobatan. Istri-istrinya minta cerai. Hanya satu istrinya yang masih setia, Siti Rahmah. Ayyub diusir oleh penduduk hingga menyepi di luar desa. Hanya Siti Rahmah saja yang setia mengirimkan bekal untuk Ayyub. (pelajaran : bahkan kehancuran sesorang pun bisa merupakan bukti kecintaan Allah pada hambanya, sesuatu yang mungkin sangat membingungkan secara logika manusia)

Yang mengagumkan, Ayyub berdo’a tak putus-putus hingga 17 tahun!
Lalu Allah berkenan mencabut ujian untuk Ayyub. Dengan air yang memancar di dekat saung tempatnya beribadah, penyakit kulit Ayyub sirna. (pelajaran berikutnya: semua tabib yang hebat hanyalah perantara yang tidak bisa memberikan obat buat Ayyub. Ternyata Allah menurunkan obat untuk Ayyub hanya berbentuk air yang memancar dekat tempatnya berdo’a.)

Kisah-kisah tersebut nyata telah terjadi di masa lampau. Bukan kisah fiktif, bukan dongeng, namun benar-benar kisah nyata. Masih banyak kisah lain yang memberikan berbagai contoh tentang bagaimana do’a, wujud terkabulnya do’a, dan baik buruk suatu permintaan.

Kalau merasa do’a tak kunjung terkabul, sudah berapa lamakah Anda berdo’a? Sudah kah seperti apa yang dilakukan Nabi Ayub, berdoa terus menerus selama 17 tahun?
Read More/Selengkapnya...

KIAT MENUJU SUKSES DUNIA AKHIRAT ALA NABI SAW

HADIS MUTHAHHARAH

Dari Sayyidina Khalid bin Al-Walid Radiallahu’anhu telah berkata : Telah datang seorang arab desa kepada Rasulullah S.A.W yang mana dia menyatakan tujuannya : Wahai Rasulullah! sesungguhnya kedatanganku ini adalah untuk bertanya kepada engkau mengenai apa yang akan menyempurnakan diriku di dunia dan akhirat. Maka baginda S.A.W telah berkata kepadanya Tanyalah apa yang engkau kehendaki :
 
Dia berkata : Aku mau menjadi orang yang alim
Baginda S.A.W menjawab : Takutlah kepada Allah maka engkau akan jadi orang yang alim

Dia berkata : Aku mau menjadi orang paling kaya
Baginda S.A.W menjawab : Jadilah orang yang yakin pada diri engkau maka engkau akan jadi orang paling kaya

Dia berkata : Aku mau menjadi orang yang adil
Baginda S.A.W menjawab : Kasihanilah manusia yang lain sebagaimana engkau kasih pada diri sendiri maka jadilah engkau seadil-adil manusia

Dia berkata : Aku mau menjadi orang yang paling baik
Baginda S.A.W menjawab: Jadilah orang yang berguna kepada masyarakat maka engkau akan jadi sebaik-baik manusia

Dia berkata : Aku mau menjadi orang yang istimewa di sisi Allah 
Baginda S.A.W menjawab : Banyakkan zikrullah niscaya engkau akan jadi orang istimewa di sisi Allah

Dia berkata : Aku mau disempurnakan imanku 
Baginda S.A.W menjawab : Perelokkan akhlakmu niscaya imanmu akan sempurna

Dia berkata : Aku mau termasuk dalam golongan orang yang muhsinin (baik)
Baginda S.A.W menjawab : Beribadatlah kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya dan jika engkau tidak merasa begitu sekurangnya engkau yakin Dia tetap melihat engkau maka dengan cara ini engkau akan termasuk golongan muhsinin

Dia berkata : Aku mau termasuk dalam golongan mereka yang taat 
Baginda S.A.W menjawab : Tunaikan segala kewajipan yang difardhukan maka engkau akan termasuk dalam golongan mereka yang taat

Dia berkata : Aku mau berjumpa Allah dalan keadaan bersih daripada dosa 
Baginda S.A.W menjawab : Bersihkan dirimu daripada najis dosa niscaya engkau akan menemui Allah dalam keadaan suci daripada dosa

Dia berkata : Aku mau dihimpun pada hari qiamat di bawah cahaya 
Baginda S.A.W menjawab : Jangan menzalimi seseorang maka engkau akan dihitung pada hari qiamat di bawah cahaya

Dia berkata : Aku mau dikasihi oleh Allah pada hari qiamat 
Baginda S.A.W menjawab : Kasihanilah dirimu dan kasihanilah orang lain niscaya Allah akan mengasihanimu pada hari qiamat

Dia berkata : Aku mau dihapuskan segala dosaku 
Baginda S.A.W menjawab : Banyakkan beristighfar niscaya akan dihapuskan( kurangkan ) segala dosamu

Dia berkata : Aku mau menjadi semulia-mulia manusia 
Baginda S.A.W menjawab : Jangan mengesyaki sesuatu perkara pada orang lain niscaya engkau akan jadi semulia-mulia manusia

Dia berkata : Aku mau menjadi segagah-gagah manusia 
Baginda S.A.W menjawab : Sentiasa menyerah diri (tawakkal) kepada Allah niscaya engkau akan jadi segagah-gagah manusia

Dia berkata : Aku mau dimurahkan rezeki oleh Allah 
Baginda S.A.W menjawab : Sentiasa berada dalam keadaan bersih ( dari hadas ) niscaya Allah akan memurahkan rezeki kepadamu

Dia berkata : Aku mau termasuk dalam golongan mereka yang dikasihi oleh Allah dan rasulNya 
Baginda S.A.W menjawab : Cintailah segala apa yang disukai oleh Allah dan rasulNya maka engkau termasuk dalam golongan yang dicintai oleh Mereka

Dia berkata : Aku mau diselamatkan dari kemurkaan Allah pada hari qiamat 
Baginda S.A.W menjawab : Jangan marah kepada orang lain niscaya engkau akan terselamat daripada kemurkaan Allah dan rasulNya

Dia berkata : Aku mau diterima segala permohonanku 
Baginda S.A.W menjawab : Jauhilah makanan haram niscaya segala permohonanmu akan diterimaNya

Dia berkata : Aku mau agar Allah menutupkan segala keaibanku pada hari qiamat
Baginda S.A.W menjawab : Tutuplah keburukan orang lain niscaya Allah akan menutup keaibanmu pada hari qiamat

Dia berkata : Siapa yang terselamat daripada dosa?
Baginda S.A.W menjawab : Orang yang sentiasa mengalir air mata penyesalan,mereka yang tunduk pada kehendakNya dan mereka yang ditimpa kesakitan

Dia berkata : Apakah sebesar-besar kebaikan di sisi Allah? 
Baginda S.A.W menjawab : Elok budi pekerti, rendah diri dan sabar dengan ujian ( bala )

Dia berkata : Apakah sebesar-besar kejahatan di sisi Allah? 
Baginda S.A.W menjawab : Buruk akhlak dan sedikit ketaatan

Dia berkata : Apakah yang meredakan kemurkaan Allah di dunia dan akhirat ? 
Baginda S.A.W menjawab : Sedekah dalam keadaan sembunyi ( tidak diketahui ) dan menghubungkan kasih sayang

Dia berkata: Apakah yang akan memadamkan api neraka pada hari qiamat? 
Baginda S.A.W menjawab : sabar di dunia dengan bala dan musibah
Read More/Selengkapnya...

Senin, 08 Maret 2010

GERAKAN ANTI MAULID (GAM)


Oleh Prof Dr Ali Mustafa Yaqub
Seorang kawan mengeluh kepada kami. Katanya, sekarang ini banyak anggota GAM di Jakarta. "Eh, yang benar saja. Mana ada anggota Gerakan Aceh Merdeka di Jakarta," begitu kami menyanggah. "Ini bukan GAM yang berarti Gerakan Aceh Merdeka, tetapi GAM yang berarti Gerakan Anti Maulid," kata kawan tadi menjelaskan.


"Apa argumen mereka?" Tanya kami mengejar. "Mereka bilang peringatan maulid itu tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW. Jadi, ini termasuk bid`ah," jelasnya. "Wah, kalau yang namanya bid`ah itu adalah ibadah yang tidak pernah dikerjakan Nabi SAW, akan banyak ibadah yang menjadi bid`ah," jelas kami.


"Banyak ibadah menjadi bid`ah? Apa maksud Ustaz?" Begitu kawan tadi bertanya penasaran. "Ya, kalau ibadah yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah SAW itu disebut bid`ah, umrah Ramadhan adalah bid`ah. Karena, Rasulullah selama hidup tidak pernah menjalankan umrah pada bulan Ramadhan. Kita mengeluarkan zakat fitri dengan beras juga bid`ah, karena Rasulullah tidak pernah mengeluarkan zakat fitri dengan beras." Begitu kami menjelaskan.


"Lalu, yang disebut bid`ah itu apa Ustaz?" Tanyanya lagi. "Dalam bidang ibadah, yang disebut bid`ah adalah ibadah yang tidak ada dalilnya dalam agama (dalil syar`i). Yang dimaksud dalil syar`i adalah Alquran, hadis, ijma`, qiyas, dan lain-lain," tambah kami. "Contohnya apa, Ustaz?" Tanya dia lagi. "Contohnya, shalat Shubuh 10 rakaat. Tidak ada dalilnya dalam agama. Yang ada dalil olah raga. Pagi hari, semakin banyak bergerak semakin baik," jelas kami.


"Lalu, apakah peringatan maulid Nabi SAW itu ada dalilnya dalam agama?" Tanyanya lagi. "Untuk menghukumi sesuatu, kita tidak boleh melihat namanya, tetapi kita lihat substansi perbuatan atau materinya. Apabila kita menghukumi sesuatu dari namanya, hotdog yang bahannya terigu dan daging ayam yang disembelih sesuai syariah Islam, hukumnya haram karena makanan itu bernama hotdog alias anjing panas.''


''Maka, seperti kata Syekh Dr Ahmad al-Syurbasyi dalam kitabnya Yasalunaka fi al-Din wa al-Hayah, untuk menghukumi maulid, kita harus melihat perbuatan yang dilakukan dalam maulid itu. Apabila maulid itu diisi dengan maksiat dan kemungkaran, hukumnya haram. Namun, apabila diisi dengan membaca Alquran, penerangan perjuangan Rasulullah SAW, dan sebagainya, semua itu ada dalil yang menganjurkannya. Begitu pendapat Syekh Dr Ahmad al-Syurbasyi dari Mesir,'' jelas kami. "Wah, terima kasih, Ustaz. Sekarang saya sudah paham," jawabnya.

sumber : Harian Republika.


Read More/Selengkapnya...

Kamis, 04 Maret 2010

JIKA CINTA NABI

“Kemarin di sekolah pak guru nanya, siapa yang cinta nabi Muhammad saw?” putriku membuka pembicaraan malam itu, usai mengerjakan tugas agamanya.

“Terus?” tanyaku sambil memeriksa hasil pekerjaan rumahnya

“Semua tunjuk jari. Kemudian pak guru nanya lagi, apa bukti kalau kalian cinta nabi Muhammad saw?”

“Kalian jawab apa?”

“Tidak ada yang menjawab, semua diam. Termasuk aku!”

***

Pertanyaan yang sama, apakah kita mencintai nabi kita, nabi Muhammad saw? Dengan mantap kita pasti akan menjawab, ya! Tapi jika ditanya, apa bukti kalau kita mencinta nabi Muhammad saw, maka terkadang kita seperti anak kecil yang bingung dan membingungkan. Kita bingung menunjukan bukti kecintaan kita pada sang nabi karena perbuatan kita yang terkadang bertolak belakang dengan apa yang kita ucapkan.

Banyak cara dan acara yang digelar dalam rangka memperingati hari kelahiran nabi Muhammad saw. Apakah ini sebuah bukti kecintaan kita pada sang nabi? Tentu saja! Begitulah jawaban mereka yang melakukannya. Namun benarkah ini bukti cinta kita pada sang nabi? Belum tentu di mata Allah dan sang nabi.

Rosululloh mencontohkan kita untuk bersedekah dengan harta kita, tapi bukan dengan cara mubazir, menghanyutkan ke laut misalnya. Untuk apa dan untuk siapa? Bukan pula dengan cara untuk diperebutkan hingga tak jarang menimbulkan kericuhan.

Rosululloh menyuruh kita untuk mencari ilmu, meskipun umpamanya sampai ke negeri China. Mengadakan dan mengikuti pengajian adalah salah satu cara untuk menambah pengetahuan agama kita. Tapi bukan kemudian mengotori masjid dengan berbagai sampah makanan dan minuman. Bukan pula dengan melalaikan sholat shubuh lantaran pengajian diadakan hingga larut malam.

Rosullloh tak pernah memberikan contoh atau perintah khusus untuk merayakan hari kelahiran beliau. Kalaupun kemudian ada yang mengadakan berbagai acara dalam rangka memperingati hari kelahiran beliau, meski sebagian mengatakan itu bid’ah namun sebagian lagi menganggap acara-acara yang mereka gelar hanya sekedar memanfaatkan momen ini untuk mengarahkan semangat kaum muslim ke jalur yang benar dan lebih bermanfaat. Semua tentu kembali bagaimana niat dan tata caranya.

Ada satu hal yang terkadang kita lupakan, padahal itulah inti sesungguhnya dari momen peringatan hari kelahiran nabi. Peringatan hari kelahiran nabi semestinya menjadikan kita lebih dekat dengan sosok mulia beliau. Bukan sekedar menyegarkan ingatan kita akan sejarah hidup beliau, tapi membangkitkan semangat kita dalam meneladani segala akhlak dan perbuatan beliau yang sangat mulia.

Jika benar kita cinta nabi, semestinya kita tahu apa dan bagaimana sosok sang nabi, akhlaknya dan segala kemuliaannya. Jika benar kita cinta nabi, semestinya akhlak dan perbuatan kita didasarkan pada contoh yang beliau berikan.

Jika kita cinta nabi, semestinya ibadah wajib tak pernah kita tinggalkan karena ibadah sunnahpun senantiasa kita jalankan. Ibadah bukan lagi sekedar kewajiban, tapi kebutuhan. Rosululloh yang sudah dijamin Allah masuk syurga saja sangat taat dan tekun beribadah, apalagi kita yang masih berlumur dosa seharusnya memastikan segala tingkah laku kita menjadi amalan yang bernilai ibadah.

Jika kita cinta nabi, semestinya kita menjadi orang yang sangat memuliakan orang tua, menghormati tamu dan tetangga dan menjaga akhlak dalam pergaulan, bukan menganggap orang tua hanya sebagai beban, tamu atau tetangga hanya akan merepotkan sementara teman hanya sekedar tempat untuk kita meminta bantuan.

Jika kita cinta nabi, semestinya kita menjadi orang yang mudah memaafkan kesalahan orang lain, bukan membesar-besarkan permusuhan, apalagi sampai mewariskan dendam pada keturunan.

Jika kita cinta nabi, semestinya kita peduli dengan kesusahan yang dialami tetangga kanan kiri kita, bukan menganggap kesulitan mereka sebagai urusan mereka, diluar urusan rumah tangga kita.

Jika kita cinta nabi, semestinya kita menjadi seorang dermawan yang gemar membantu kaum fakir miskin, bukan dengan mudah memberikan label malas pada mereka tanpa kita memberikan bantuan apa-apa.

Jika kita cinta nabi, semestinya kita mengasihi anak-anak yatim, bukan membiarkan mereka dengan anggapan toh masih ada kerabat yang lebih wajib mengurus segala keperluannya, sementara kita hanya orang lain yang tak ada pertalian darah dengan mereka.

Kita memang hanyalah manusia biasa yang tak sesempurna rosululloh, namun kita bisa meneladani beliau sampai batas maksimal kemampuan kita. Mari kita jadikan momen peringatan maulid nabi ini sebagai titik awal untuk mengikuti jejak-jejak syurga sang nabi. Mari kita rubah senandung harian kita dengan shalawat. Sesungguhnya rosululloh tak memerlukan doa kita, tapi kitalah yang membutuhkan syafaat dari beliau.

Allohumma sholli ala Muhammad ya robbi sholli alaihi wasalim



Read More/Selengkapnya...

Senin, 01 Maret 2010

KELUARGA SAKINAH, MAWADDAH DAN RAHMAH


Bismillahirrahmanirrahiim..
Dengan kerendahan hati, mari kita simak pesan-pesan Al Quran tentang tujuan hidup yang sebenarnya. Nasehat ini untuk semuanya. Baik untuk mereka yang telah memiliki arah. Bagi mereka yang belum punya arah. Atau bahkan yang tak punya arah sekalipun. Nasehat ini untuk semuanya. Semua yang ingin mendapat dan meraih kebaikan. Nikah itu ibadah. Nikah itu suci ... ingat itu. Memang nikah itu bisa karena harta, bisa karena keturunan, bisa karena kecantikan, ketampanan, dan bisa karena agama. Jangan engkau jadikan harta, kecantikan, dan keturunan sebagai alasan karena itu akan menyebabkan celaka. Jadika agama sebagai alasan. Engkau akan mendapatkan kebahagiaan. Tak dipungkiri bahwa keluarga terbentuk karena cinta. Namun, jika cinta engkau jadikan satu-satunya landasan, maka keluargamu akan rapuh. Mudah terombang-ambing dan hancur kemudian. Jadikanlah Allah sebagai landasan. Niscaya kau akan selamat. Tidak saja di dunia, tapi juga di akhirat. Jadikan ridho Allah sebagai tujuan. Niscaya mawaddah, sakinah dan rahmah akan tercapai. Insyaallah .......

Untuk calon suami yang sholih ...
Jangan kau menginginkan menjadi raja dalam istanamu.
Disambut isteri ketika datang dan dilayani segala kebutuhan.
Jika ini kaulakukan, istanamu tidak akan lanngeng.
Lihatlah manusia teragung sepanjang sejarah, Muhammad SAW tidak marah ketika harus tidur di luar beralaskan sorban, karena sang isteri tidak mendengar kedatangan beliau.
Tetap tersenyum, meski tak tersedia makanan di hadapan, ketika lapar.
Menjahit bajunya yang robek ...........
Jangan engkau terlalu cinta pada isterimu.
Jangan engkau terlalu menuruti isterimu.
Jika itu engkau lakukan, akan celaka.
Engkau tidak akan dapat melihat hitam dan putih, tidak akan dapat melihat benar dan salah.
Lihatlah bagaimana Allah menegur Nabimu ketika mengharamkan apa
yang telah Allah halalkan hanya karena menuruti kemauan isteri.
Tegaslah terhadap isterimu!!
Dengan cintamu ajaklah ia tata kepada Allah.
Jangan biarkan ia dengan kehendaknya.
Lihatlah isteri Nuh dan Luth. Di bawah bimbingan manusia pilihan, justru
mereka menjadi penentang.
Isterimu bisa menjadi musuhmu. Didiklah isterimu.
Jadikanlah ia sebagai Hajar, wanita utama yang setia terhadap tugas suami, Ibrahim.
Jadikan ia sebagai Maryam. Wanita utama yang bisa menjaga kehormatannya.
Jadikan ia sebagai Khadijah, wanita utama yang bisa mendampingi tugas suami, Muhammad SAW menerima tugas risalah.
Isterimu adalah tanggung jawabmu...
Jangan larang mereka untuk taat kepada Allah.
Biarkan ia giat berdakwah kepada kaumnya untuk menyegerakan tegaknya kembali kalimah-Nya.
Biarkan ia menjadi wanita yang sholehah yang senantiasa mengokohkan dakwahmu dan dakwahnya.
Tegur ia tatkala ia lalai dalam melaksanakan amanahnya.
Biarkan ia menjadi Hajar, Maryam atau bahkan Khodijah.
Sungguh jangan kau belenggu dengan egomu.

Untuk calon isteri yang sholihah .........
Jika engkau menjadi isteri, jangan engkau menginginkan menjadi ratu dalam istanamu.
Disayang, dimanja dan dilayani oleh suamimu.
Terpenuhi apa yang menjadi keinginanmu.
Jika itu engkau lakukan, istanamu akan menjadi neraka bagimu.
Jangan engkau paksa suamimu menurutimu.
Jangan engkau paksa suamimu untuk melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya.
Siapkan dirimu untuk menjadi Hajar, yang setia terhadap tugas suami.
Siapkan dirimu untuk menjadi Maryam, yang bisa senantiasa menjaga kehormatannya.
Siapka dirimu untuk menjadi Khadijah, yang bisa mendampingi suami tercinta mejalankan misi dakwahnya.
Jangan kau usik suamimu dengan rengekanmu. Jangan kau usik suamimu dengan tangismu.
Jika itu kau salah gunakan, kecintaannya padamu yang begitu besar akan memaksanya menjadi pendurhaka.
Jangan ...........

Untuk para Bapak .....
Jika kau menjadi bapak, jadilah bapak yang bijaksana layaknya Lukamnul Hakim.
Jadilah Bapak yang tegas seperti Ibrahim.
Jadilah Bapak yang dipenuhi kasih dan sayang seperti Muhammad SAW. Ajaklah anakmu mengenal Allah. Ajaklah anak, dan istrimu untuk senantiasa taat pada Allah.
Jadikan ia sebagai Yusuf yang berbakti. Jadikan ia setaat Ismail.
Jangan jadikan ia sebagai anak yang durhaka.
Mohonlah kepada Allah...
Mintalah kepada Allah agar mereka menjadi anak yang sholih dan senantiasa menjadi pejuang Islam.

Untuk para Ibu ..........
Jika kau menjadi ibu, jadilah kau ibu yang bijak, ibu yang teduh, yang bisa memberi keteduhan pada suami dan anak-anakmu.
Bimbinglah anakmu dengan kasih sayangmu.
Jadikan mereka mujahid. Jadikan mereka tentara-tentara Allah.
Jangankan biarkan mereka larut dalam kemanjaan dan malas-malasan. Siapkan mereka menjadi anak yang shalih.
Hamba yang shalih. Yang siap menegakkan risalah Islam.

Pernikahan laksana ajal, tak peduli siap atau tidak, pada waktu yang telah ditentukan dia akan datang menjemput seseorang untuk berpindah ke alam lain.
Maka beruntunglah bagi siapa yang mempersiapkan diri.

Manusia Akhir Zaman

Untuk Suami Renungkanlah ...
Pernikahan menyingkap tabir rahasia.
Isteri yang kamu nikahi tidak semulia
Khadijah, tidak setaqwa Aisyah, pun tidak setabah Fatimah.
Justru isterimu hanyalah wanita akhir zaman yang punya cita-cita menjadi solehah ...
Pernikahan menyadarkan akan kewajiban bersama.
Isterimu menjadi tanah, kamu langit penaungnya.
Isteri ladang tanaman, kamu pemagarnya.
Isteri ibarat ternak, kamu penggembalanya.
Isteri adalah murid, kamu mursyidnya.
Isteri bagaikan anak kecil, dan kamu tempat bermanja dan berkeluh kesah ia.
Dan ketika isteri menjadi racun, kamulah penawar bisanya.
Seandainya isteri tulang yang bengkok maka berhati-hatilah meluruskannya ...
Pernikahan menginsyafkan kita perlunya keimanan dan ketaqwaan.
Untuk belajar meniti ridho Allah SWT.
Karena memiliki isteri yang tak sehebat mana, justru kamu akan tersentak dari alpa.
Kamu bukanlah Rasulullah SAW, pun bukan Sayyidina Ali Karramallahuwajhah.
Cuma suami akhir zaman yang mencoba untuk menjadi suami
soleh. Amiin .........

Untuk Isteri Renungkanlah ...
Pernikahan menyingkap tabir rahasia.
Suami yang menikahimu tidak semulia Muhammad SAW,
tidak setaqwa Ibrahim, pun tidak setabah Ayub.
Apalagi setampan Yusuf..
Justru suamimu hanyalah lelaki akhir zaman yang punya cita-cita membangun keturunan yang sholeh ...
Pernikahan menyadarkan akan kewajiban bersama..
Suami menjadi pelindung, kamu penghuninya.
Suami adalah nahkoda kapal, dan kamu pengemudinya..
Saat suami seorang raja, kamu dapat merasakan anggur singgasananya.
Dan ketika suami menjadi racun, kamulah penawar bisanya.
Sungguh , tatkala suami sebagai inti jantung keluarga, maka anti-lah rusuk pelindungnya.
Seandainya suami bengis lagi lancang, maka berhati-hatilah meluruskannya ...
Pernikahan menginsyafkan kita perlunya keimanan dan ketaqwaan.
Untuk belajar meniti ridho Allah SWT.
Karena memiliki suami yang tak sehebat mana, justru kamu akan tersentak dari alpa.
Kamu bukanlah Khadijah yang sempurna dalam menjaga, pun bukan Hajar yang setia dalam sengsara.
Cuma wanita akhir zaman yang mencoba untuk menjadi istri salehah. Amiin .........

"Semoga Allah Mengumpulkan Yang Berserakan Dari Keduanya, Memberkati Mereka Berdua Dan Kiranya Allah Meningkatkan Kualitas Keturunan Mereka, Menjadikan Pembuka Pintu Rahmat, Sumber Ilmu Dan Nikmat Serta Rasa Aman Bagi Umat"
(Doa Rasulullah Saat Pernikahan Putrinya Fatimah Dengan Ali Bin Abi Thalib)

Read More/Selengkapnya...

CINTA AL-QUR'AN

AL-QUR’AN BERBICARA TENTANG AL-QUR’AN


1. Al-Qur’an Merupakan Obat dan Rahmat

“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian”
(QS. 17:82)


2. Al-Qur’an adalah Petunjuk dan Cahaya.

“Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhoan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”.
(QS. 5:16)

3. Al-Qur’an Merupakan Kabar Gembira bagi Orang-Orang Beriman, bahwa Mereka Memperoleh Pahala yang Besar.

“Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”.
(QS. 17:9)

4. Al-Qur’an Merupakan Hikmah yang Amat Agung.

“Demikianlah (kisah ‘Isa), Kami membacakannya kepada kamu sebagian dari bukti-bukti (kerasulannya) dan (membacakan) Al-Qur’an yang penuh hikmah”.
(QS. 3:58)

5. Al-Qur’an Merupakan Peringatan dan Pelajaran.

“Maka beri peringatanlah dengan Al-Qur’an orang yang takut kepada ancaman-Ku”.
(QS. 50:45)


“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”.
(QS. 10:57)

6. Al-Qur’an adalah Ruh dan Kehidupan

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh/wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami”.

7. Al-Qur’an Merupakan Samudra Ilmu Pengetahuan dan Penjelasan

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya,melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu apapun di dalam Al-Kitab, kemudian kepada Rabblah mereka dihimpunkan”.
(QS. 6:38)

"Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al-Qur’an ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.”
(QS. 18:54)

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri.”
(QS. 16:89)

8. Allah Telah Bersumpah dengan Al-Qur’an dan Menyifatinya dengan
Kemuliaan.

“Qaaf Demi Al-Qur’an yang sangat mulia”.
(QS. 50:1)


Selanjutnya Allah memerintahkan hambaNya untuk mempelajari Al-Qur’an, dan Dia menyifati orang yang tidak maumempelajari Al-Qur’an sebagai orang yang gelap hatinya dan buta nuraninya.

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci”
(QS. 47:24)

Apa yang telah disebutkan di atas merupakan penjelasan tentang betapa agung dan mulianya keberadaan Al-Qur’an, serta besarnya keutamaan orang yang menaruh perhatian terhadapnya, baik itu dengan membaca, menghafal, mempelajari, memahami serta mengamalkan serta mengajarkannya.


Keutamaan Mempelajari Al-Qur’an dan Mengajarkannya

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman,
“Berkatalah orang-orang kafir, “Kamu bukan seorang yang dijadikan Rasul”. Katakanlah, “Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan kamu dan antara orang yang mempunyai ilmu Al-Kitab”.
(QS. 13:43)

Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam telah bersabda,
“Orang terbaik di antara kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan
mengajarkannya.”(HR. Al-Bukhari)


Keutamaan Membaca Al-Qur’an

"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi,"
(QS. 35:29)

Nabi telah bersabda,
“Bacalah oleh kalian Al-Qur’an, sesungguhnya ia akan datang pada Hari Kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi yang membacanya.”
(HR. Muslim)

Dan sabdanya yang lain,
“Orang yang mahir membaca Al-Qur’an, maka dia bersama para malaikat yang mulia dan baik-baik dan orang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata serta ia mengalami kesulitan, maka baginya dua pahala.”
(Muttafaq ‘alaih)

Tentang pahala kebaikan yang diberikan kepada orang yang membaca Al-Qur’an, Nabi juga telah menjelaskan dengan sabdanya,
“Barang siapa yang membaca satu huruf dari Al-Qur’an, maka ia mendapatkan satu kebaikan, dan satu kebaikan dilipatkan menjadi sepuluh kali lipat. Tidaklah aku mengatakan bahwa alif laam miim satu huruf, tetapi alif satu huruf, laam satu huruf dan miim satu huruf.” (HR.At-Tirmidzi ia mangatakan, “Hasan shahih”)

Beliau juga bersabda tentang orang yang tidak pernah membaca Al-Qur’an,
“Sesungguhnya orang yang di dalam hatinya tidak terdapat sesuatu dari Al-Qur’an, ibarat rumah kosong dan rusak.”
(HR. At-Tirmidzi dan ia berkata, “Hasan Shahih”)


Demikian semoga Allah memasukkan kita semua sebagai ahli Al-Qur’an, orang suka membacanya, mendengarkan dan mentadaburinya untuk kemudian mengamalkannya, amin ya Rabbal ‘alamain.

Read More/Selengkapnya...