Senin, 22 Februari 2010

HAL-HAL YANG LUAR BIASA

“Bagaimana hal-hal biasa bisa ditundukkan padamu? Sedangkan anda tidak pernah menundukkan kebiasaan nafsumu?”
Ada ha-hal luar biasa yang biasanya muncul pada para Sufi yang kelak disebut sebagai karomah. Tentu hal yang luar biasa itu tidak akan pernah muncul selama manusia tidak pernah menundukkan dirinya sendiri, dan karenanya hal-hal biasa juga tak pernah tertundukkan.

Hal yang luar biasa itu justru terletak pada keberanian seseorang untuk mengeluarkan dirinya dari dirinya, sebagaimana pandangan para Sufi, “Hakikatmu adalah keluarmu dari dirimu.” Maksudnya kita bisa mengeluarkan hasrat nafsu kita dari diri kita.

Hikmah Ibnu Athaillah ini menyembunyikan rahasia, bahwa hakikat Karomah itu justru pada Istiqomah, dimana istiqomah tersebut tidak bisa diraih sepanjang manusia masih senang dan terkukung oleh kesenangan dan kebiasaan nafsunya.
Karena nafsu adalah hijab, dan wujud nafsu itu adalah rasa “aku” dalam diri kita sendiri.
Seorang Sufi ditanya, “Bagaimana anda sampai mencapai tahap luhur ini?”
“Aku bertauhid dengan tauhid paling utama, dan aku berbakti sebagaimana baktinya budak, serta aku taat kepada Allah swt atas perintahNya, apa yang dilarangNya. Maka setiap aku memohon, Dia selalu memberinya.”

Dalam suatu Isyarat, Allah swt, berfirman: “HambaKu, Akulah yang berkata pada sesuatu Kun Fayakuun”. Maka taatlah kepadaKu, maka engkau pun berkata pada sesuatu “Jadilah! Maka bakal terjadi!”.
Dalam hadits shahih, Allah swt berfirman, “Tak ada orang yang mendekat kepadaKu sebagaimana dekatnya orang yang menunaikan apa yang Aku fardhukan kepada mereka, dan senantiasa hambaKu berdekat padaKu dengan ibadah-ibadah sunnah, sampai Aku mencintainya. Maka bila Aku mencintainya, jadilah Aku sebagai Pendengaran baginya, menjadi Mata, Tangan dan Penguat
baginya. Maka bila ia meminta padaKu, Aku pasti memberinya, dan bila ia meminta perlindungan padaKu, Aku pasti melindunginya….”

Menembus batas kebiasaan diri seorang hamba, berarti haruslah punya keberanian untuk menyadari kefanaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu, doktrin, “Aku bisa, aku mampu, aku hebat, aku kuat, aku berdaya…dsb…” Apalagi disertai dengan kata-kata, “Dariku, denganku, untukku, demiku, bagiku, bersandar aku…dsb,” justru semakin mempertebal lapisan hijab demi hijab antara hamba dengan Allah swt.
Orang yang meraih karomah, pasti sirna dari keakuannya. Orang yang mendapatkan hal-hal luar biasa, justru fana’ seluruh egonya. Dan sebaliknya jika kesirnaan aku dan egonya tidak terjadi, maka hal-hal yang luar biasa tidak lebih dari Istidroj yang melemparkan dirinya dari Allah Ta’ala.
Read More/Selengkapnya...

Selasa, 16 Februari 2010

Segala Puji Milik Allah Swt (1)

Bismillahirrahmanirrahim. Qala mu’alifu Rahimahullah. Alhamdulillahirabil’alamin hamdan tsanaan ilaih jala wa’ala, segala puji adalah milik Allah. Puji bagi Allah ini dibagi menjadi 4 bagian secara perinci, yang pertama yang sudah jelas diketahui, pertama al Qadim alal Qadim (Allah memuji dzat-Nya sendiri), qadim alal hadits (Allah memuji makhluk-Nya), hadits alal qadim (makhluk memuji Allah), hadits alal hadits makhluk memuji sesamA makhluk).

Qadim alal Qadim Allah Ta’ala memuji dzatNya sendiri, seperti ayat-Nya lailaha illa ana fa’buduuni , tiada Tuhan selain-KU maka beribdahlah pada-Ku, dan lain sebagainya.
Kaitannya itu banyak, diantaranya lafad Alhamdulillah ada kaitanya dengan lafad iyya kana’budu wa iyya kanasta’in, ‘hanya kepada-Mu-lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu-lah kami memohon.
Lafad Alhamdulillah juga terkait dengan maliki yaumiddin, Allah yang merajai hari akhir. Sebelum iyya kana’budu wa iyya kanasta’in, ketika Allah Swt berfirman dalam surat fatihah maliki yaumiddin, lafad maliki yaumiddin kalau kita tanyakan, mengapa disebut maliki yaumiddin kok tidak malikil awwalina wal akhirin, yang merajai orang-orang terdahulu dan orang-orang terkemudian? Ada rahasia apa? Karena maliki yaumiddin untuk menunjukan sifat wahdaniahnya, Esa-Nya Allah SWT.

Dengan kemaha sempurnaan sifat-Nya Allah Swt dalam wahdaniah-Nya, wahdaniah fi dzatihi wa wahidun fi sifati wa wahidun fi afalihi (Esa pada dzat-Nya, Esa pada Sifatnya, Esa pada pekerjaanNya). Disini kalimah wahidun fi dzatihi itu jelas.
Nah, yang dimaksukud wahidun fi sifatihi bukan merubah sifat yang 99 atau merubah asma’ yang 99 yang tertera dalam all Qur’an atau asmaul husna atau yang lain.
Allah Ta’ala memberikan pelajaran kepada nabiyullah Adam beberapa asmanya Allah Swt. Akan tetapi tidak semua asma atau nama-nama Allah diberikan pada hamba-Nya. Allah Ta’ala mempunyai 3000 yang ditunjukan kepada khowas, kelompok teristimewa. Yang 1000 hanya diketahui Allah SWT.
Yang 1000 diberikan kepada baginda nabi SAW. Dan yang 1000 dibagikan kepada para malaikat dan para nabi dan para rasul yang lain. Allah memberikan 1000 nama kepada Nabi Saw secara khusus, tidak diberikanpada nabi yang lain. Itu diberikan ketika Allah Swt menjadikan hambaNya dan lain sebagainya.
Ketika yaumil qiyamah, tiba semua dalam keadaan tidak bernyawa, kullu sai’in khaliun illa wajhah, Semua mati kecuali Allah Swt. Nah disinilah rahasianya Allah Swt. Ketika malaikat, dan makhluk Allah yang lain sudah mati, Allah Ta’ala bertanya “siapakah diantara kalian yang telah mengaku Tuhan selain Aku, tunjukan! Tunjukan Tuhan selain Aku!”, disini sirrnya, sir daripada makna maliki yaumiddin. Jadi ketika yaumil qiyamah Allah Ta’la langsung bertanya “tunjukan Tuhan selain Aku?!, Wahai hamba-hambaKu, mana yang telah kau pertuhan?, batu, kayu, selain Aku”. Disinilah ketegaan Allah SWT.
Jadi untuk menjawab tantangan hamba-hamba Allah Ta’ala yang tidak beriman terutama, yang sirik, yang mempertuhankan selain Allah, yang mereka puja, ditantang Allah Ta’ala “adakah Tuhan selain Aku? Mana buktinya? Tunjukan!”. Jadi untuk menunjukan puji Qadim alal Qadim, itu diantaranya.
Yang kedua puji qadim alal hadits, bagaimana Allah Ta’ala memuji hamba-hambaNya yang telah diangkat oleh Allah Swt menjadi kekasih-Nya, seperti yang diterangkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Imam Hakim. Dalam hadits itu disebutkan habata jibril ila nabiyyu Saw. Qaal kana rabbuka yakulu laka, in akhodtu ibrohima khalilan faqad akhodtuka habiiban wama kholaqtul khalkan akrom ‘alayya minka waqad kholaqtul dunnya wa ahalaha li uarrifahum karamataka wa manzilataka indi laulaka ma kholaqtul dunya wala adam, Turun Malaikat Jibril menemui Nabi Saw, kemudian Jibril berkata.
“Tuhanmu menyampaikan pesan padamu, “jika Aku menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Ku (khalil), maka Aku menjadikanmu orang terkasih-Ku (Habib). Aku tidak menciptakan makhluk yang lebih utama disisiku. Dan Aku menciptakan dunia seisinya untuk mengenalkan keutamaanmu disisi-Ku.
Ini adalah suatu perintah yang turun kepada Sayyidi Rasulullah Saw, diperintahken untuk menyampaikan pesannya Allah Ta’ala kepada Rasullah diantaranya , “idz akhodtu ibrohima khalilan faqad akhodtuka habiba”, makna habiba dengan ma’na kholil sama, tapi berbeda jauh, tempat yang berbeda, tingkatan yang berbeda.
“Aku tidak akan menciptakan seorang hamba-Ku yang melebihi atas kemuliaanmu, terusnya hadits ini “wama kholaqtul khalkon akrom alayya minka waqad kholqtul dunnya wa ahalaha li uarrifahum karamataka wamanzilataka indi”, dan aku menciptakan alam semesta seisinya, untuk memberitahu kepada mereka atas kedudukanmu dan kemulyaanmu disisi-Ku. Ini kaitannya puji Qadim alal Hadits. (wallah ‘A’alm- to be continu)
Read More/Selengkapnya...

Alhamdu Dan Ke Esa-an Allah (2)

Adapun puji hadits alal qadim, sebagaimana diterangkan pada kesempatannyang lalu, kita memperoleh kenikmatan-kenikmatan oleh Allah SWT. Entah itu kenikmatan-kenikmatan yang sekecil apapun sampai kenikmatan besar yang Allah berikan. Kenikmatan yang paling besar apa? Nikmatul iman wal islam, sehingga kita memuji Alhamdulillahi alal ni’matul iman wal islam, ini adalah ni’mat yang paling agung.

Keni’matan sekecil apapun tidak lepas dari Allah SWT. Disamping keni’matan yang tampak bagi kita, ada pula kenikmatan yang tersmbunyi atau bersifat sir, seperti orang bersin, orang wahing, orang kena pilek. Orang yang kena pilek yang hubungannya bersin, mengapa kita disuruh mengucapakan alhamdulilllah? Karena didalam penyakit itu ada ni’mat tersendiri, apa ni’matnya?
Setiap orang mengeluarkan umbel atau ingus. Ingus itu bersumber dari otak kecil sampai ke ginjal, rahasianya apa? Sampai orang bersin disuruh mengucapkan al hamdulillah, orang yang bersin menggerakkan jantung kurang normal, itu satu, yang kedua menyetabilkan ginjal.
Mengeluarkan jenis segala penyakit yang membahayakan, seperti lepra, kusta dan lain sebagainya, walhasil penyakit-penyakit yang berat itu dikeluarkan pada saat kita bersin, makanya diperintahkan mengucapkan Al hamdulillah.
Nah dari sini kita memuji Allah atas segala nikmatnya. Oleh karenanya anda, kita semua disuruh mengucapakan Alhamdulillah. Orang keluar ingus siapa yang tidak sumpek, tapi kenyataannya justru didalam kesumpekan kita itu ada kandungan penyakit yang luar biasa, dengan bersin penyakit itu keluar, itu diantaranya.
Makanya kita disuruh untuk mengucapkan Alhamdulillah. Tapi perlu diingat adanya puji Hadits alal Qadim jangan kita berpendapat, bahwa dengan pujian kita itu menguntungkan bagi Allah, “sama sekali tidak”. Maka disini kita mengatakan Alhamdulillah “segala puji milik Allah bukan bagi Allah”, apa perbedaannya milik dengan bagi.
Kalimat “puji Bagi Allah” mengandung pengertian sudah ada yang memuji, yaitu makhluk yang diciptakan olehNya. Kalau Allah Ta’ala tidak menciptakan makhlukNya, apakah tetap puji itu bagi Allah. Makanya yang tepat adalah segala puji milik Allah, sehingga kalau Allah ta’ala tidak menciptakan makhluK, tetap segala puji milki Allah. Allah Ta’ala maha, tanpa dipujipun dalam segala-galanya “maha sempurna”.
Yang ke empat adalah puji ma bainal hawadits, makhluk saling memuji satu sama lainnya. Antar ulama dengan ulama, antar nabi dengan nabi saling mengangkat saling menjunjung, saling memuji dan lain sebagainya.
Nah dari itu, al hamdulillah itu menunjukan wahidun fi dzatihi (esa dalam dzatNya), wahidun fi sifatihi (esa dalam sifaNya).
kalau wahidun fi dzatihi sudah jelas. Mengapa wahidun fi sifatihi, bukan fi asmaihi? Anna sifatillah la tajdadu wala yanqusu, sifatnya Allah Ta’ala yang 99, sampai yang seribu, tidak akan berkurang, tidak akan bertambah. Mau menciptakan alam semesta ini, mau memberikan kasih sayang dengan arrahman-arrahimNya, sama sekali tidak akan mengurangi ataupun menambah kebesaran Allah.
Seumpamanya Allah Ta’ala menciptakan penduduk surga, dengan kemewahan ahli jannah dan penghuni jannah itu sendiri, yang merupakan Ibadihas Sholihin (hamba-hamba Allah yang salih), Auliya’ wa Anbiya’ yang luar biasa, sama sekali kasih sayang Allah dengan rahman rahimNya tidak akan bertambah atau berkurang karena pujian hambanya yang didalam surga atau karena menciptakan surganya.

Juga demikian dengan sifat al Qaharnya Allah Swt. Al Qaharnya Allah Ta’ala bukan karena menciptakan neraka, tidak menciptakan nerakapun Allah Swt tetap mempunyai sifat Al Qahar. Al intikom, al muntaqimu, jadi Allah SWT sama sekali tidak mengambil manfaat, keuntungan atau kerugian dengan tidak menciptakan atau menciptakan makhluk, Ini yang dimaksud denang wahidun fi sifatihi. Dan wahidun fi af’alihi.

Allah Ta’ala kalau menciptakan, istilahnya adalah “ta’sir”, tapi kalau selain Allah Ta’ala “kasab” Ikhtiyar dan lain sebagainya, tapi kalau Allah Ta’ala yang menghendaki idza arada saian ayyakulalahu kun fayakun, faillam yasa’ lam yakun, (kalau Allah menghendaki sesuatu, Allah berfirman ‘jadilah, maka jadi. Jika tidak menghendaki tidak akan jadi), itu diantaranya.

Umpama Allah Ta’ala tidak ada yang memuji, ya tetap terpuji, lalu dimana letaknya terpuji kalaupun tidak menciptakan apa-apa, dimana letaknya? Ya dikekuasaanNya, Allah tidak menghendaki menciptakan dan tidak ada lainnya, itulah terpujinya Allah Ta’ala, sebab itu menunjukan hak-Nya Allah Swt; anatara menghendaki menciptakan dan tidak menciptakan.

Kalau toh menciptakan “tetap terpuji” karena itu ciptaannya Allah SWT. Justru dengan tidak menciptakannya tetap maha sempurna, menciptakan sesutau juga Allah Ta’ala tetep maha sempurna. Tidak menciptakan? Dimana letak maha sempurnanya? Menunjukan kekuasaan Allah Swt yang tidak mempunyai Azj wal karahah wa ani sahwi wa nisyani wal baladah, tidak terkena sifat lemah, lupa, lalai dan sifat bodoh, tidak pula wa ani dzuhul wal wahmi wal ghoflah. Sama sekali disini, Allah Maha dalam semuanya.

Kalau selain Allah tidak menciptakan ada kekurangan, dan justru setelah menciptakan, malah lebih kelihatan kekurangannya. Contohnya gampang, seseorang diberikan ilmu oleh Allah SWT bisa membuat sepeda atau sepeda motor, pinter ndak? ‘Pinterkan’ diberi ilmukan? Seandainya sepeda motor anda, anda pinjamkan ke orang, dinyalakan, jalan, kamu bisa mengejar tidak? Padahal yang buat itu yang mengejar laju motor tadi.

Mestinya anda harus menguasai kendaraan itu secara total. ‘Saya akan buat kendaraan yang bisa melaju dengan cepat’, tapi nyatanya setelah itu sudah bisa jalan kamu sendiri tidak bisa mengejar, kurang ndak? Yang kedua, tidak sekali-sekali anda membuat sepeda atau sepeda motor, kecuali menunjukkan apa? Menunjukkan terbatas kemampuan anda berjalan, tidak bisa cepat, perlu bantu, lebih kurang tidak?!

Itu kelihatan sekali, tadinya sebelum menciptakan itu sudah kurang, tapi justru setelah kamu menciptakan malah menunjukkan kurangnya. Itu semua “mustahil bagi Allah”. Satu contoh saja yang jelas, orang bisa menciptakan jet istimewa luar biasa, Alhamdulillah. Tapi justru itu menunjukan kekurangannya apa? Yang buat tidak bisa seperti itu padahal hasil buatannya sendiri. Lha yang lucu kan disitu.

Dan banyak lagi contoh-contoh yang cukup unik. Ketika kamu makan, kamu diberi kekuatan oleh Allah SWT. Tangan mengangkat, mengambil makanan dari piring, kamu ambil nasi sesuap, kamu masukkan ke dalam mulut, tapi ketika dalam mulut kamu kunyah makanan itu, begitu anda telan, mampu apa anda disitu? Mampu tidak? Bisa mengatur jadi darah merah, bisa menjadi darah putih semuanya ? Supaya jadi keringatnya yang baik, yang jadi najis, sedikit saja, tidak usah banyak-banyak, kotoran air kencing itu, bisa ngatur?!

Nah kita itu ditunjukkan oleh Allah SWT. Setiap hari, kita di tantang oleh Allah Ta’ala; ‘ Ayo sampai dimana kemampuanmu, tunjukan pada-Ku mana rasa kuasamu? Akhirnya kita mengucapkan apa? Setelah kita menyadari tidak ada kemampuan? Setiap selasai makan kita mengucapkan “Alhamdulillah”. Setelah kita tidak mempunyai kemampuan apa-apa Kita kembali lagi, oo.. ternyata “Alhamdulillah”.

Semuanya sudah haknya Allah Ta’ala, mau jadi darah semua terserah, mau jadi darah putih terserah, itu adalah kuasa dan haknya Allah Ta’ala. Kita hanya dapat berkata “Alhamdulillah”. Itu istimewanya disitu. Mau jadi buruk, mau jadi baik, terserah Allah Ta’ala, kalo sudah masuk semuanya.

Satu contoh lagi, ini diluar kemampuan logika, ketika barang itu belum keluar La hukma lahu, tidak bisa kita hukumi. Najis itu kan setelah keluar, ya kan? Mengantongi najis Cuma tidak keluar, nah yang kita makan itu, sisa-sisa ulasan pencernaan itu tadi kan masih kotor, bejananya masih kotor, yang jadi najis, yang jadi apa saja masih bekas disini. Makanan masuk lagi mukhalatoh, tapi justru bisa dipisahkan oleh Allah SWT.

Bisa jadi darah merah, darah putih dan lain sebagainya, kita melahat kenikmatan yang demikian, karena ilmu itu kita tidak bisa mngatur itu semua, kita hanya bisa mengucapkan “Alhamdulillah”.

Maka kalimat Alhamdu mujmal, global, sehingga kalimat itu merangkum semuanya. Dari haknya Allah Ta’ala, dari hambanya kepada Allah SWT. Ini diringkas dalam kalimah Alhamdulillah. Kalimat Al hamid, Al majid tetap tidak berkurang atau bertambah karena adanya makhlukNya. Wallahu ‘A’lam.(Spyn/hly.net)
Read More/Selengkapnya...

Tidak Dijamin Masuk Surga

Tidak Jamin Masuk Surga

Seorang pemuda, ahli amal ibadah datang ke seorang Sufi. Sang pemuda dengan bangganya mengatakan kalau dirinya sudah melakukan amal ibadah wajib, sunnah, baca Al-Qur’an, berkorban untuk orang lain dan kelak harapan satu satunya adalah masuk syurga dengan tumpukan amalnya.
Bahkan sang pemuda tadi malah punya catatan amal baiknya selama ini dalam buku hariannya, dari hari ke hari.

Pemuda : “Saya kira sudah cukup bagus apa yang saya lakukan Tuan…”
Sufi : “Apa yang sudah anda lakukan?”

Pemuda : “Amal ibadah bekal bagi syurga saya nanti…”
Sufi : “Kapan anda menciptakan amal ibadah, kok anda merasa punya?”

Pemuda itu diam…lalu berkata,
Pemuda : “Bukankah semua itu hasil jerih payah saya sesuai dengan perintah dan larangan Allah?”
Sufi : “Siapa yang menggerakkan jerih payah dan usahamu itu?”

Pemuda : “Saya sendiri…hmmm….”
Sufi : “Jadi kamu mau masuk syurga sendiri dengan amal-amalmu itu?”

Pemuda : “Jelas dong tuan…”
Sufi : “Saya nggak jamin kamu bisa masuk ke syurga. Kalau toh masuk kamu malah akan tersesat disana…”

Pemuda itu terkejut bukan main atas ungkapan Sang Sufi. Pemuda itu antara marah dan diam, ingin sekali menampar muka sang sufi.

Pemuda : “Mana mungkin di syurga ada yang tersesat. Jangan-jangan tuan ini ikut aliran sesat…” kata pemuda itu menuding Sang Sufi.
Sufi : “Kamu benar. Tapi sesat bagi syetan, petunjuk bagi saya….”

Pemuda : “Toloong diperjelas…”
Sufi : “Begini saja, seluruh amalmu itu seandainya ditolak oleh Allah bagaimana?”

Pemuda : “Lho kenapa?”
Sufi : “Siapa tahu anda tidak ikhlas dalam menjalankan amal anda?”
Pemuda : “Saya ikhlas kok, sungguh ikhlas. Bahkan setiap keikhlasan saya masih saya ingat semua…”“Nah, mana mungkin ada orang yang ikhlas, kalau masih mengingat-ingat amal baiknya? Mana mungkin anda ikhlas kalau anda masih mengandalkan amal ibadah anda? Mana mungkin anda ikhlas kalau anda sudah merasa puas dengan amal anda sekarang ini?”


Pemuda itu duduk lunglai seperti mengalami anti klimaks, pikirannya melayang membayang bagaimana soal tersesat di syurga, soal amal yang tidak diterima, soal ikhlas dan tidak ikhlas.

Dalam kondisi setengah frustrasi, Sang sufi menepuk pundaknya.

Sufi : “Hai anak muda. Jangan kecewa, jangan putus asa. Kamu cukup istighfar saja. Kalau kamu berambisi masuk syurga itu baik pula. Tapi, kalau kamu tidak bertemu dengan Sang Tuan Pemilik dan Pencipta syurga bagaimana? Kan sama dengan orang masuk rumah orang, lalu anda tidak berjumpa dengan tuan rumah, apakah anda seperti orang linglung atau orang yang bahagia?”
Pemuda : “Saya harus bagaimana tuan…”

Sufi : “Mulailah menuju Sang Pencipta syurga, maka seluruh nikmatnya akan diberikan kepadamu. Amalmu bukan tiket ke syurga. Tapi ikhlasmu dalam beramal merupakan wadah bagi ridlo dan rahmat-Nya, yang menarik dirimu masuk ke dalamnya…”

Pemuda itu semakin bengong antara tahu dan tidak.
Sufi : “Begini saja, anak muda. Mana mungkin syurga tanpa Allah, mana mungkin neraka bersama Allah?”
Pemuda itu tetap saja bengong. Mulutnya melongo seperti kerbau.


Read More/Selengkapnya...

3 HAL YANG MERUSAK DIRI SENDIRI


Tiga  Hal yang  merusak diri sendiri adalah :

a. Sangat Kikir
b. Mengikuti Kehendak Nafsu
c. Memandang dengan Pandangan yang sempurna,  
    Tanpa  memandang akan kenikmatan Allah























 




Read More/Selengkapnya...

3 HAL YANG DAPAT MENYELAMATKAN MANUSIA DARI SIKSA ALLAH


Tiga Hal yang dapat menyelamatkan manusia dari siksa Allah

 Takut kepada Allah Ta’ala secara rahasia dan secara terang-terangan
 Sederhana dalam kehidupan dunia baik di saat fakir maupun di saat kaya
 Adil antara senang dan marah

 
Sumber : Nashaihul Ibada

Read More/Selengkapnya...

Selasa, 09 Februari 2010

PUNCAK KENIKMATAN

PUNCAK KENIKMATAN

“Sepanjang Allah melimpahi anda, rizki taat kepada Allah dan merasa cukup denganNya, ketahuilah sesunggunya Allah telah menyempurnakan nikmat lahir dan batin kepadamu.”

Setelah membincangkan posisi anda di depan Allah, maka Al-Fudhail bin Iyadl menegaskan, bahwa ketaatan hamba kepada Tuhannya menurut kadar derajat posisi si hamba itu, Dengan kata lain pula bahwa puncak dari kenikmatan itu sesungguhnya adalah ketaatan menjalankan perintahnya secara lahiriyah, dan merasa cukup jiwanya bersama Allah secara batin.
Maksudnya seseorang mengerjakan amaliyahnya semata karena perintah Allah, bukan karena motivasi tertentu. Sang hamba hanya bagiNya, bersamaNya, bukan karena sebab atau akibat tertentu. Seorang hamba ketika beribadah, akan senantiasa bermusyahadah RububiyahNya. Inilah yang dimaksudkan dengan menegakkan syariat disatu sisi dengan tetap berselaras dengan hakikat.
Sebab dengan cara inilah seseorang bisa meraih keringanan, keselarasan, keparipurnaan dalam hakikat, yakni bebas dari merasa bisa berupaya dan berdaya serta beramal.

Sang hamba akan meraih nikmat agung dan sariguna yang sempurna. Dikatakan bahwa nikmat terbesar adalah keluar dari diri. Ada pula yang mengatakan, nikmat itu adalah apa yang menghubungkan dengan Allah dan memuttuskan dengan makhluk. Bahkan ada yang mengatakan, segala yang tidak mendatangkan penyesalan dan tidak mengakibatkan siksaan, itulah nikmat besar.
Dengan merasa cukup Allah sebagai satu-satunya harapan dan masa depan, maka dia pada saat yang sama akan merasa cukup denganNya.
Oleh sebab itu mulailah dijadikan suatu perspektif yang luhur ke depan:
1. Taat kepada Allah sebagai cita-cita dunia akhirat.
2. Kedamaian hati bersamaNya, dan tidak menoleh selainNya, adalah keparipurnaan hakikat.
3. Bisa beribadah adalah anugerah yang tiba, karena itu sebagai rasa syukur harus dimunculkan setiap ibadah. Ibadah sebagai wujud syukur, bukan beban dan kewajiban.
4. Ibadah dan kepatuhan, adalah bentuk lain dari kehambaan. Dan tidak ada nikmat paling agung ketimbang menjadi hamba Allah.
5. Segeralah kembali dan menuju, suatu kenyataan bahwa ketaatan secara syariat dan hakikat tidak bisa dipisahkan sebagai puncak nikmat.
Read More/Selengkapnya...

Senin, 08 Februari 2010

Al-Hikam~1~ BERSANDAR HANYA PADA RAHMAT ALLAH

من علا ما ت الاعتماد على العمل نقصان الرجاء عند وجود الذلل
Sebagian dari tanda-tanda orang yang I’timad (menyandarkan diri) pada kekuatan amal usahanya adalah berkurangnya pengharapan terhadap rahmat dan pengampunan Alloh ketika ia berbuat suatu kesalahan (dosa).

Yang dinamakan I’timad yaitu membatasi kekuatan hanya pada satu perkara, I’timad mendorong seseorang untuk melakukan suatu perbuatan yang diinginkan dan ia menganggap bahwa dengan melakukan perbuatan tersebut tujuannya akan tercapai; misalnya : bekerja, ia percaya bahwa dengan bekerja akan tercapai segala keinginannya dan dengan bekerja ia akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pada dasarnya syariat Islam menyuruh kita supaya beramal dan berusaha, tapi hakikat syariat melarang kita menyandarkan diri pada amal usaha kita, melainkan kita harus menyandarkan diri kepada rahmat dan karunia Alloh SWT, sebagaimana makna yang terkandung dalam kalimat لا اله الا الله “Tiada Tuhan selain Alloh”, yang berarti bahwa tiada tempat bersandar, berlindung dan berharap kecuali hanya kepada Alloh dan tidak ada yang dapat menghidupkan dan mematikan melainkan Alloh SWT. dalam surat Yunus ayat 58 Alloh SWT berfirman :
قل بفضل الله وبرحمته فبذ لك فليفرحوا هو خير مما يجمعون
“katakanlah dengan karunia Alloh dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.
Karunia Alloh dan rahmatNya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan (QS.Yunus 58)

Dalam hal I’timad (menyandarkan diri), manusia terbagi menjadi 3 macam, yaitu :
1. Orang yang menyandarkan diri pada amal perbuatannya, biasanya orang yang seperti ini selalu berbuat sembrono dan tergesa-gesa. Ia selalu berusaha melakukan perbuatan yang menjadi sandarannya, dengan melihat dari lahiriahnya saja, dan orang yang seperti ini selalu berputar pikirannya antara amal dengan Roja’(pengharapan) dan Khouf(rasa takut gagal). ولتنظر نفس ما قد مت لغد “Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok “. (QS. Al-Hasyr 18)
2. Orang yang menyandarkan diri pada rahmat dan karunia Alloh SWT., orang seperti ini memandang bahwa segala sesuatu yang ada adalah anugerah dan karunia dari Alloh, manusia tidak mempunyai kekuatan untuk mengelakkan diri dari bahaya kesalahan dan tiada kekuatan untuk berbuat amal kebajikan kecuali dengan pertolongan dan rahmat dari Alloh SWT. وما بكم من نعمة فمن الله ثم اذا مسكم الضر فاليه تجئرون “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Alloh lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa kemudhorotan, maka hanya kepada Nya kamu meminta pertolongan.” (QS. An-Nahl 53) Adapun cirri-ciri orang yang menyandarkan diri pada karunia Alloh adalah mengembalikan semua kepada Alloh. Pada saat bahagia ia memuji dan bersyukur kepada Alloh, dan pada saat susah ia introspeksi diri dengan merenungi kesalahannya dan selalu berdo’a kepada Alloh SWT.
3. Orang yang menyandarkan diri pada pembagian dan ketetapan yang telah ditentukan oleh Alloh SWT. orang seperti ini memandang sesuatu sebagai takdir Alloh,
قل الله ثم ذرهم فى خوضهم يلعبون “Katakanlah : Alloh lah (yang menurunkan Taurat), kemudian(sesudah kamu menyampaikan Al-Qur’an kepada mereka) biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatan.” (QS. An-An’am 91)
Adapun cirri-ciri orang seperti ini adalah selalu pasrah dan diam (menerima) terhadap terjadinya ketentuan (takdir) Alloh. Jadi Roja’ (pengharapan) nya tidak akan bertambah dan tidak pula berkurang dikarenakan suatu hal, jika ditimbang Roja’ (pengharapan) dan Khouf (perasaan takut) nya pasti imbang dalam setiap perbuatannya, orang seperti ini kelihatan selalu gembira padahal dalam hatinya juga ada rasa susah.
Sebagian Ulama Tahqiq mengatakan; barang siapa yang telah mencapai maqom (1), maka ia tidak akan pernah kendur dalam beramal, barang siapa yang telah mencapai maqom (2), maka ia tidak bisa berpaling dari beramal, dan barang siapa yang telah mencapai maqom (3), maka ia tidak bisa berpaling dari siapa saja selain Alloh SWT.



Read More/Selengkapnya...

MENGENAL ALLAH (MA'RIFAT)

PENGERTIAN MA'RIFAT

Menurut ahli bahasa, kata ma'rifat berarti mengetahui atau mengenal.
Pengertian tsb bisa diperluas lagi menjadi : cara mengetahui atau mengenal Allah melalui tanda2 kekuasaan-Nya yang berupa makhluk2 ciptaan-Nya. Sebab dengan hanya memperhatian tanda2 kekuasan-Nya kita bisa mengetahui akan keberadaan dan kebesaran Allah SWT.

Kita tentu yakin dan faham betul, bahwa tidak ada satu makhlukpun, itu pasti ada yang menciptakan. Dan siapa lagi yang menciptakan segala macam makhluk tsb kalau bukan Allah?
Tanda2 tentang adanya Allah sudah jelas terlihat disekeliling kita. Setiap hari kita bisa melihat terbitnya matahari dari ufuk timur dan kemudian tenggelam di ufuk barat. Satu kali pun tidak pernah terbalik.

Kita juga bisa melihat betapa indahnya bulan dan begitu gemerlapnya bintang2 yg bertaburan di langit di malam hari. Semua itu yg menciptakan dan mengatur peredaraannya adalah Allah. Siapa yg tidak mengenal Allah lewat tanda-tanda kekuasaan-Nya, ia adalah sebuta-buta manusia. Bukan buta matanya akan tetapi buta hatinya.
Sebagaimana yg telah difirmankan Allah berikut :
Sesungguhnya bukan matanya yang buta, tapi mata hatinyalah (yang buta) yang berada berada dalam rongga dadanya.

Adapun cara memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah yang berupa makhluk-makhluk-Nya tersebut bukanlah sekedar dengan menggunakan penglihatan lahir saja. Tetapi harus pula ditunjang dengan penglihatan mata batin(hati) yang jernih dan bersih dari berbagai macam dosa. Perhatikan sabda Rasulullah SAW, kepada Sahabat Abu Dzar AL-Ghifari berikut : Wahai Abu Dzar, Sembahlah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Bila kamu tidak melihat Allah, maka yakinkan (dalam hatimu) bahwa Allah melihat kamu"

Buta mata belum tentu membawa bencana. Tetapi buta hati, sudah pasti akan mendatangkan siksa. Karena apabila manusia sudah menderita penyakit buta hati, selama ia belum belum mendapatkan cahaya Ilahi yang berupa petunjuk-petunjuk kebenaran, maka selama itu pula ia akan tersesat jalannya. Bukan menuju jalan Syurga yang ia tempuh, melainkan jalan ke Neraka. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 72 yang berbunyi :
“Dan barangsiapa yang buta (hati) di (dunia) ini, maka ia buta di akhirat nanti dan bahkan lebih sesat jalannya.

Setelah kita mengenal dan mengetahui akan keberadaan Allah, apakah lantas pengenalan dan pengetahuan kita tersebut berhenti sampai di situ saja?. Tentu tidak. Akan tetapi lebih dari itu, kita sebagai hamba-Nya dan sebagai salah satu makhluk ciptaan-Nya, maka sudah sepatutnya apabila kita senantiasa mengabdikan diri secara bulat dan utuh semata-mata demi mengharapkan keridhoan-Nya.
Salah satu tanda bagi orang yang berma’rifat kepada Allah adalah bahwa ia senantiasa bersandar dan berserah diri kepada Allah semata.
Apapun yang telah dan akan terjadi pada dirinya, selalu diterima dengan baik. Apabila ia mendapat kenikmatan, ia bersyukur. Sedangkan apabila ia mendapatkan musibah, ia terima cobaan itu dengan sabar. Orang yang demikian ini percaya, bahhwa semua itu datangnya dari Allah untuk kebaikan dirinya. Sebab tidak ada sesuatupun yang terjadi di dunia ini, kecuali ada manfaat atau hikmah di balik peristiwa tersebut.

Selain itu, orang yang berma’rifat kepada Allah tidak pernah menyombongkan diri. Sebagai makhluk yang lemah dan tanpa daya, manusia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali atas pertolongan dan izin dari Allah Yang Maha Perkasa. Karena itu ia pun selalu mencari jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya guna mendapatkan pertolongan, perlindungan dan keridhoan-Nya. Sedang apapun yang dapat menghalangi jalannya untuk bertaqorrub kepada Allah SWT ia singkirkan jauh-jauh dari lubuk hatinya, seperti sifat serakah kepada dunia, kikir, sombong, riya, dan berbagai sifat tercela lainnya.

Menurut seorang ahli ma’rifat terrenal bernama Al-Junaidi, bahwa seorang belum bisa disebut sebagai ahli ma’rifat sebelum dirinya mempunyai sifat-sifat:
- Mengenal Allah secara mendalam, hingga seakan-akan dapat berhubungan secara langsung dengan-Nya.
- Dalam beramal selalu berpedoman kepada petunjuk-petunjuk Rosulullah SAW (Al-Hadist).
- Berserah diri kepada Allah dalam hal mengendalikan hawa nafsunya.
- Merasa bahwa dirinya adalah kepunyaan Allah dan kelak pasti akan kembali kepada-Nya.

Adapun menurut Imam Al-Ghozali sebagaimana yang ditulis dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, di situ disebutkan bahwa ada empat hal yang harus dikenal dan kemudian dipelajari oleh seseorang yang berma’rifat kepada Allah. Keempat hal tersebut adalah :
1. Mengenal siapa dirinya.
2. Mengenal siapa Tuhannya
3. Mengenal dunianya
4. Mengenal akhiratnya.

Read More/Selengkapnya...