Senin, 23 Agustus 2010

Memahami Kembali Gramatika Ramadhan

Ada yang sangat menarik dari setiap akhir ayat-ayat yang berkaitan dengan puasa Ramadhan. Ayat 183-187 surah Albaqarah diakhiri dengan fi’il Mudhari’ (present dan future tense). Misalnya, ayat 183 yang diakhiri dengan la’allakum tattaqun, lalu in kuntum ta’lamun (184), la’allakum tasykurun (185), la’allahum yarsyudun (186), dan la’allahum yattaqun (187).

Menurut gramatika bahasa Arab, akhir ayat-ayat tersebut mengandung arti bahwa puasa itu harus berwawasan masa kini dan mendatang. Ketakwaan itu mengawali, menyertai, mengakhiri, sekaligus menindaklanjuti Ramadhan.

Kecuali ayat 184, ayat-ayat lainnya dirangkai dengan kata la’alla yang menunjukkan arti harapan (tarajji). Artinya, Ramadhan harus menjadi bulan penuh harapan menuju perubahan dan peningkatan ke arah yang lebih baik dan bermakna.

Pertama, harapan menjadi orang bertakwa (la’allakum tattaqun). Dalam menafsirkan ayat ini, sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa ‘mudah-mudahan kalian semua dapat menjaga diri dari segala bentuk kemaksiatan.’ Karena orang yang berpuasa itu mestinya antimaksiat. Makan dan minum saja tidak mau (di siang hari), apalagi maksiat?

Kedua, harapan menjadi orang yang berilmu (in kuntum ta’lamun). Ilmu harus menjadi dasar bagi kita dalam menggali makna dan rahasia puasa. Sebaliknya, puasa hendaknya mengantarkan kita untuk selalu menggali dan mengembangkan ilmu. Ilmu dan takwa menjadi ‘identitas’ Muslim.

Ketiga, harapan menjadi orang yang pandai bersyukur (la’allakum tasykurun). Bersyukur merupakan nilai positif dan konstruktif bagi orang yang berpuasa, karena ketika merasa letih, lapar, haus, dan dahaga, lalu pada saat berbuka dapat menikmati apa yang menjadi hak mulut dan perutnya, rasa gembira itu terekspresikan luar biasa indah. “Bagi orang yang berpuasa itu ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan saat berbuka dan kegembiraan saat bertemu Tuhannya di akhirat kelak.” (HR Thabrani).

Keempat, harapan menjadi orang yang berada dalam kebenaran (la’allahum yarsyudun). Berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah merupakan prasyarat yang mengantarkan seseorang itu memperoleh jalan kebenaran dalam menjalani kehidupan ini.

Harapan itu harus dipenuhi dengan ketaatan dan kesungguhan dalam berdoa, dengan sungguh-sungguh meminta kepada Allah dan bukan pada yang lain.

Kelima, harapan menjadi orang yang bertakwa (la’allahum yattaqun). Menjadi orang yang bertakwa harus tahu diri, tahu batas, dan tahu yang pantas. Tahu diri artinya bisa mengendalikan hawa nafsu, tahu batas berarti mengetahui larangan-larangan Allah, dan tahu yang pantas artinya berusaha untuk menampilkan performa diri yang terbaik sesuai dengan batas kemampuannya.

Dengan memahami gramatika Ramadhan ini, kita perlu memaksimalkan harapan-harapan baik kita dengan membuat perencanaan dan target yang jelas sehingga Ramadhan kali ini, membuahkan transformasi dan spiritualisasi diri ke arah peningkatan iman dan takwa yang bermakna. Semoga.

Oleh Muhbib Abdul Wahab
Read More/Selengkapnya...

Aneka Cara Menyapa Ramadhan

Dalam hitungan hari, kita segera memasuki pelataran universitas Ramadhan. Suka atau tidak, sebagai hamba-Nya yang beriman, kita akan masuk dan mengikuti semua proses pendidikan di dalamnya. Sebuah unit pendidikan Rabbani yang akan melahirkan para wisudawan terbaik dengan gelar al-Muttaqin (bertakwa). “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS Albaqarah [2]: 183).

Abdullah bin Ash-Shamit meriwayatkan bahwa ketika Ramadhan datang, Rasulullah SAW mengingatkan, “Jika Ramadhan telah tiba maka terbukalah pintu-pintu surga, tertutup pintu-pintu neraka. Bulan penuh berkah itu telah datang kepadamu. Pada bulan itu, Allah melimpahkan (karunia-Nya) kepadamu. Dia menurunkan rahmat, menghapuskan kesalahan-kesalahan dan mengabulkan doa. Allah akan melipatgandakan semua kebaikanmu di bulan itu dan akan membanggakanmu di hadapan para malaikat. Maka tampilkanlah dari diri kamu yang baik-baik. Karena orang yang malang adalah orang yang tidak mendapatkan rahmat Allah pada bulan itu.” (HR Ath-Thabrani). Ramadhan adalah bulan penuh berkah. Kita bisa lihat, para insan media–baik cetak maupun elektronik–terguyur keberkahan Ramadhan, dengan pariwara komersialnya. Penggiat entertainment kebanjiran manggung dan peran. Para ustaz banyak menerima panggilan ceramah. Pekerja, karyawan, dan buruh, akan mendapatkan bonus, THR, dan lain sebagainya. Jika berkaca dari hadis ini, Ramadhan ingin menaburkan keberkahan bagi para penyambutnya. Ramadhan berarti pembakaran dan peleburan. Yang biasa dibakar adalah sesuatu yang kotor, misalnya sampah. Sampah yang berserak, bertumpuk, dan mengeluarkan aroma tak sedap. Jika sampah dibakar, pelataran rumah kita, insya Allah akan kembali bersih. Namun, ada juga yang biasa kita bakar dan bukan sesuatu yang kotor, seperti besi. Besi ketika dibakar, oleh seorang pandai besi, akan sangat mudah dibentuk sesuai dengan keinginan. Ia bisa dijadikan bahan untuk sepeda, motor, mobil, atau pesawat. Karena itu, Ramadhan yang akan kita jelang, semoga bisa menjadi alat untuk membakar dan meleburkan segala kotoran dosa dan maksiat, agar pekarangan hati kita menjadi bersih. Kemudian, kita bentuk agar hati itu menjadi semakin dekat dengan Allah SWT. Ingatlah, ketika detik-detik Ramadhan tahun lalu akan berakhir, para malaikat bersedih dan meminta supaya satu tahun semua bulannya adalah Ramadhan. Kini, ketika Ramadhan kembali menyapa, tentu mereka, para malaikat dan semesta alam akan merasa haru dan bahagia menyambutnya. Maka itu, bersama gerak alam dan semesta yang berzikir, kita bentangkan tangan seraya menyiapkan diri dan menata hati untuk menyambut kehadirannya. Marhaban ya Ramadhan.

Oleh Muhammad Arifin Ilham
Read More/Selengkapnya...

Mengenal Tiga Tanda Kematian

Dikisahkan bahwa malaikat maut (Izrail) bersahabat dengan Nabi Ya’kub AS. Suatu ketika Nabi Ya’kub berkata kepada malaikat maut. “Aku menginginkan sesuatu yang harus kamu penuhi sebagai tanda persaudaraan kita.”

“Apakah itu?” tanya malaikat maut. “Jika ajalku telah dekat, beri tahu aku.” Malaikat maut berkata, “Baik aku akan memenuhi permintaanmu, aku tidak hanya akan mengirim satu utusanku, namun aku akan mengirim dua atau tiga utusanku.” Setelah mereka bersepakat, mereka kemudian berpisah.

Setelah beberapa lama, malaikat maut kembali menemui Nabi Ya’kub. Kemudian, Nabi Ya’kub bertanya, “Wahai sahabatku, apakah engkau datang untuk berziarah atau untuk mencabut nyawaku?”

“Aku datang untuk mencabut nyawamu.” Jawab malaikat maut. “Lalu, mana ketiga utusanmu?” tanya Nabi Ya’kub. “Sudah kukirim.” Jawab malaikat, “Putihnya rambutmu setelah hitamnya, lemahnya tubuhmu setelah kekarnya, dan bungkuknya badanmu setelah tegapnya. Wahai Ya’kub, itulah utusanku untuk setiap bani Adam.”

Kisah tersebut mengingatkan tentang tiga tanda kematian yang akan selalu menemui kita, yaitu memutihnya rambut; melemahnya fisik, dan bungkuknya badan. Jika ketiga atau salah satunya sudah ada pada diri kita, itu berarti malaikat maut telah mengirimkan utusannya. Karena itu, setiap Muslim hendaknya senantiasa mempersiapkan diri untuk menghadapi utusan tersebut.

Kematian adalah kepastian yang akan dialami oleh setiap manusia sebagaimana yang telah ditegaskan dalam firman Allah SWT, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS Ali Imran [3]: 185).

Karena itu, kita berharap agar saat menghadapi kematian dalam keadaan tunduk dan patuh kepada-Nya. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS Ali Imran [3]: 102).

Tidaklah terlalu penting kita akan mati, tapi yang terpenting adalah sejauh mana persiapan menghadapi kematian itu. Rasulullah SAW mengingatkan agar kita bersegera untuk menyiapkan bekal dengan beramal saleh. “Bersegeralah kamu beramal sebelum datang tujuh perkara: kemiskinan yang memperdaya, kekayaan yang menyombongkan, sakit yang memayahkan, tua yang melemahkan, kematian yang memutuskan, dajjal yang menyesatkan, dan kiamat yang sangat berat dan menyusahkan.” (HR Tirmidzi).

Bekal adalah suatu persiapan, tanpa persiapan tentu akan kesulitan dalam mengarungi perjalanan yang panjang dan melelahkan. Oleh karena itu, “Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 197).

Oleh Imam Nur Suharno
Read More/Selengkapnya...

Kamis, 19 Agustus 2010

SHALAT TARAWIH

Bulan Ramadlan merupakan bulan yang diagungkan, bulan yang penuh barakah, rahmah dan maghfirah. Oleh karena itu Rasulullah SAW menganjurkan untuk memperbanyak amal shalih, termasuk di antaranya adalah qiyamu Ramadlan, berdasarkan hadits :

عن أبي هريرة قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أنْ يَأمُرَهُمْ فِيْهِ بَعَزِيْمَةٍ فَيَقثوْلُ : مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (متفق عليه)

Artinya : ” Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah SAW menganjurkan untuk qiyamu Ramadlan dengan tanpa memerintahkannya dengan penekanan (tidak mewajibkannya) seraya bersabda : Barang siapa beribadah pada bulan Ramadlan (melakukan qiyamu Ramadlan dengan (dilandasi) iman dan penuh keikhlasanmaka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu ”

عن عائشة رضي الله عنها أَنٌَ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَلٌَى فِي المَسْجِدِ ذَاتَ لَيْلَةٍ فََصََلٌَى بِصَلاتِهِ نَاسُ ثُمٌَ صَلٌى مِنَ القَبِيْلَةِ فَكَثُرَ النٌاسُ ثُمٌَ اجْتَمَعُوْا مِنَ الليْلَةِ الثٌالِثَةِ أوِ الرٌَابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إلَيْهِمْ رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَلَمٌَا أصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأيْتُ الٌذِيْ صَنَعْتُمْ فَلَمْ يَمْنَعْنِيْ مِنَ الخُرُوْجِ إلا أنٌِيْ خَشِيْتُ أنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ قَالَتْ وَذَالِكَ فِيْ رَمَضَانَ (متفق عليه)

Artinya : “ Dari ‘Aisyah RA, sesungguhnya Rasulullah SAW shalat di masjid pada suatu malam, lalu orang-orang shalat bersama beliau. Kemudian pada malam berikutnya, beliau shalat dan bertambah banyak orang (yeang mengikuti beliau). Pada malam ketiga atau keempat, orang-orang berkumpul (menunggu beliau), namun Rasulullah SAW tidak keluar (ke masjid). Ketika pagi-pagi beliau bersabda : sungguh aku melihat apa yang kalian lakukan (tadi malam). Tidak ada yang mencegah saya keluar kecuali saya hawatir kalau shalat itu difardlukan pada kalian. ’Aisyah berkata bahwa itu terjadi pada bulan Ramadlan”


Qiyamul lail di bulan Ramadlan itu dikenal dengan shalat tarawih yang artinya beberapa kali istirahat. Dinamakan demikian karena mereka istirahat sejenak setiap dua kali salam (empat rakaat). Bahkan tidak sah jika dilakukan dengan niat shalat sunnah muthlaq, tetapi harus dengan niat tarawih atau qiyamu Ramadlan.
Hadits ’Aisyah di atas menerangkan bahwa Nabi SAW memang pernah melaksanakan shalat tarawih dan dengan berjama’ah. Hadits tersebut tidak menyebutkan bilangan rakaatnya. Dalam hadits serupa yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah, beliau menambahkan kata-kata :

وَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَالأمْرُ عَلَى ذَالِكَ

” Kemudian Rasulullah SAW wafat, dan keadaan tetap seperti itu”
Sejak itu para shahabat ada yang melakukannya munfarid, dan banyak yang berjamaah dengan kelompok-kelompok di masjid. Barulah pada masa khalifah Umar bin Khaththab RA dilakukan berjamaah dengan satu imam, yaitu shahabat Ubay bin Ka’ab. Ketika itu shalat tarawih dilakukan dengan bilangan 20 rakaat ditambah witir 3 rakaat, dan tidak seorangpun shahabat yang mengingkarinya. Bilangan rakaat ini diterangkan dalam hadits riwayat Muslim dalam kitab shahihnya dan juga Imam Malik dalam kitab Al Muwaththa’, dari Malik bin Yazid bin Rumman ia berkata :


كَانَ النٌَاسُ يَقُوْمُوْنَ فِيْ زَمَنِ عُمَرَ بْنِ الخَطٌابِ بِثَلاثٍ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً

Artinya: “adalah orang-orang melakukan qiyamu Ramadlan (shalat tarawih) pada zaman Umar bin Khaththab dengan 23 rakaat (20 ditambah witir 3 rakaat)”.
Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Nabi SAW mengerjakan shalat tarawih bersama para shahabat di masjid 8 rakaat, kemudian mereka menambah bilangan rakaat itu di rumah masing-masing dengan 12 rakaat sehingga menjadi berjumlah 20 rakaat.
وَكَانَ يُصَلٌِيْ بِهِمْ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ وَيُكَمٌلُوْنَ بَاقِيَْهَا فِيْ بُيُوْتِهِمْ فَكَانَ يسمع لَهُمْ أزيْز كأزِيْزِ النٌحْلِ

Artinya : ” Beliau (Nabi SAW) shalat (tarawih) bersama para shahabat sejumlah delapan rakaat, kemudian mereka menyempurnakan sisanya di rumah-rumah mereka, maka terdengarlah bagi mereka suara gemuruh seperti gemuruh/dengung lebah”.
Hadits lain, dari Ibnu Abbas, ia berkata :
كَانَ يُصَلٌيْ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ فِيْ غَيْرِ جَمَاعَةٍ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَالوِتْرَ (رواَهُ البَيْهَقِي والطبراني)
Artinya : “Adalah beliau (Nabi SAW) shalat di bulan Ramadlan tidak dengan berjamaah sebanyak 20 rakaat dan witir” (HR. Al Baihaqiy dan Ath Thabraniy).
Dalam Sunan At Tirmidzi disebutkan :
وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ فَرَأَى بَعْضُهُمْ أنْ يُصَلٌِيَ إحْدَى وَأَرْبَعِيْنَ رَكْعَةً مَعَ الْوِتْرِ وَهُوَ قَوْلُ أهْلِ الْمَدِيْنَةِ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَهُمْ بِالْمَدِيْنَةِ وَأَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى مَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَعَلِيٌٍ وَغَيْرِهِمَا مِنْ أصْحَابِ النٌَبِيٌِ صلى الله عليه وسلم عِشْرِيْنَ رَكْعَةً … وَقَالَ الشٌَافِعِيٌُ وَهَكَذَا أدْرَكْتُ بِبَلَدِنَا بِمَكٌَةَ يُصَلٌُوْنَ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً
“ Para ahli ilmu berbeda pendapat dalam hal qiyamu Ramadlan. Maka sebagian mereka berpendapat dengan shalat empat puluh satu rakaat beserta witir, yaitu pendapat penduduk Madinah, dan inilah yang berlaku di kalangan mereka yang di Madinah. Mayoritas ahli ilmu berpegang pada apa yang diriwayatkan Umar, Ali, dan Shahabat Nabi lainnya, yaitu dua puluh rakaat … Imam Syafi’i berkata: inilah yang aku jumpai di negara kami Makkah, mereka (penduduk Makkah) shalat tarawih dua puluh rakaat ”.
Berdasarkan dalil-dalil itu, jumhur ulama sepakat bahwa bilangan rakaat shalat tarawih adalah 20 rakaat dengan 10 salam (setiap 2 rakaat salam), baik dari madzhab Hanafiy, Malikiy, Syafi’iy, maupun Hanbaliy . Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Imam Nawawiy :
مَذْهَبُنَا أنٌَهَا عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْمَاتٍ غَيْر الوِتْرِ, وَذَالِكَ خَمْسُ تَرْوِيْحَاتٍ وَالتٌَرْوِيْحَةُ أرْبَعُ رَكَعَاتٍ بِتَسْلَيْمَتَيْنِ, هَذَا مَذْهَبُنَا, وَبِهِ قَالَ أبُوْ حَنِيْفَةَ وَأصْحَابُهُ وَأحْمَدُ وَدَاوُدُ وَغَيْرُهُمْ, وَنَقَلَهُ القَاضِي عِيَاضُ عَنْ جُمْهُوْرِالعُلَمَاءِ. َ
“ Madzhab kami bahwasanya shalat tarawih itu 20 rakaat dengan sepuluh salam selain witir, yang demikian itu 5 tarawih, sedangkan satu tarwih itu 4 rakaat dengan 2 salam, inilah madzhab kami, dan demikian pula pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikutnya, pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Dawud, dan lain-lainnya. Imam Qadli ‘Iyadl menukil dari Jumhur ulama’ “
Yang berbeda dalam hal ini adalah Imam Al Aswad bin Yazid An Nakha’iy yang melakukan tarawih dengan 40 rakaat dan 7 rakaat witir. Sedangkan Imam Malik (bukan madzhab Malikiy) berpendapat bahwa shalat tarawih itu 36 rakaat dengan sembilan tarwih selain witir. Beliau menggunakan dasar amalu ahlil Madinah .
Imam Bukhariy dan Muslim mendukung yang 20 rakaat itu. Mengomentari pendapat Imam Malik, keduanya mengatakan bahwa hal itu tidak boleh untuk selain penduduk Madinah.
قَالَ الشٌَيْخَانِ : وَلايَجُوْزُ ذَلِكَ لِغَيْرِهِمْ لأنٌَ لأهْلِهَا شَرَفًا بِهِجْرَتِهِ وَبِدَفْنِهِ صلى الله عليه وسلم
Artinya : “ Imam Bukhariy dan Muslim (Asy Syaikhaniy) berkata : tarawih 36 itu tidak boleh untuk selain penduduk Madinah, karena untuk penduduk Madinah itu ada kemuliaan sebab hijrah dan dimakamkannya Rasulullah SAW di sana “.
Dari sini jelaslah bahwa bilangan shalat tarawih adalah 20 rakaat ditambah dengan 3 rakaat witir. Pendapat yang berbeda dari kalangan ulama salaf hanya sebagian kecil, yaitu ada yang 36 rakaat dan ada yang 40 rakaat.
Lalu bagaimana dengan hadits ‘Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat malam tidak lebih dari sebelas rakaat ? yaitu :
عن أبي سلمة بن عبد الرحمن أنه سأل عائشة كَيْفَ كَانَتْ صَلاةُ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم فِيْ رَمَضَانَ ؟ قَالَتْ مَاكَانَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم يَزِيْدٌُ فِيْ رَمَضَانَ وَلافِيْ غَيْرِهِ عَلَى إحْدَى عَشرَةَ رَكْعَة يُصَليْ أرْبَعًا فَلا تَسْأل عَنْ حُسْنِهِن وَطُوْلِهِن ثُم يُصَليْ أرْبَعًا فَلا تَسْأل عَنْ حُسْنِهِن وَطُوْلِهِن ثُم يُصَليْ ثَلاثًا فَقَالَتْ عَائشَةُ فَقُلْتُ أتَنَامُ قَبْلَ أنْ تُوْتِرَ فقال يَاعَائشَةُ إن عَيْنَِي تَنَامَانِ وَلايَنَامُ قَلْبِيْ (متفق عليه)
Artinya : “Dari Abi Salamah bin Abdur Rahman, bahwasanya ia bertanya kepada Aisyah: Bagaimana Shalat Rasulullah SAW di bulan Ramadlan ?Aisyah menjawab: Rasulullah SAW tidak menambah dari sebelas rakaat baik di bulan Ramadlan maupun di bulan lainnya. Beliau shalat empat rakaat, maka jangan tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat lagi empat rakaat juga jangan tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. Aisyah berkata: saya bertanya, apakah engkau tidur sebelum witir ? Rasulullah bersabda : ya Aisyah sesungguhnya kedua mata saya tidur tetapi hati saya tidak tidur”. (muttafaq alaih).
Dalam memahami hadits ini, ada beberapa hal yang harus dicermati, yaitu : Pertama, jawaban Aisyah itu berangkat dari pertanyaan Abu Salamah bin Abdurrahman bin ’Auf. Abu Salamah ini merupakan salah satu dari pemuka ulama’ dan fuqaha’ Tabi’in dari kalangan penduduk Madinah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Harits Sulaiman Al Dlariy :
مِنْ أَكَابِرِ التَّابِعِيْنَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ : الفُقَهَاءُ السَّبْعَةُ مِنْ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ الْمُنَوَّرَةِ وَهُمْ … وَأَبُو سَلْمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ …
Sebagai seorang ulama terkemuka dari kalangan tabi’in, tentu Abu Salamah telah mengetahui tentang bilangan rakaat shalat tarawih melalui sunnah Rasul dan shahabat yang telah berlaku sekian waktu dan tidak ada pertentangan di kalangan masyarakat muslim baik di Makkah maupun Madinah, bahkan sampai sekarang. Oleh karena itu pertanyaan beliau yang diawali dengan kata tanya ”kaifa” = ”bagaimana” itu bukanlah menyangkut bilangan rakaat shalat tarawih. Akan tetapi sesuai dengan jawaban Aisyah yang merupakan inti dari hadits itu adalah tentang kualitas kebagusan dan panjang atau lamanya shalat Rasulullah SAW itu dalam melakukan shalat lail. Jadi hadits ini bukanlah dalil yang tepat untuk menjadi dasar bilangan rakaat shalat tarawih.
Kedua, dalam hadits tersebut ada kalimat jawaban Aisyah ”pada bulan Ramadalan dan di bulan selain Ramadlan”. Ini artinya shalat yang dikerjakan Nabi SAW yang dijelaskan oleh Aisyah itu bukan shalat tarawih. Karena shalat tarawih hanya dilakukan pada bulan Ramadlan. Oleh karena itu hadits ini bukanlah dalil shalat tarawih akan tetapi merupakan dalil shalat witir. Sebab dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Nabi SAW melaksanakan shalat witir dengan bilangan maksimalnya sebelas rakaat, diantaranya :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي بِاللَّيْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوْتِرُ مِنْهَا بِوَاحِدَةٍ.. (رواه مسلم)
Artinya : “ Dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW melaksanakan shalat di malam hari sebelas rakaat, beliau mengganjilkannya dengan satu rakaat …”
Dan banyak hadits lain yang semisal dengan hadits tersebut, termasuk hadits Aisyah yang menjawab pertanyaan Abu Salamah di atas. Dan hadits tersebut oleh Imam Muslim juga dimasukkan dalam bab shalat lail yang dikaitkan dengan shalat witir. Bahkan Imam Ibnu Hajar Al Haitami secara tegas menyatakan bahwa hadits tersebut adalah dalil shalat witir, bukan dalil shalat tarawih .
Ketiga, dari kalangan shahabat tidak ada yang mempertanyakan tentang bilangan rakaat shalat tarawih, sebab mereka telah mengetahui sendiri dari yang mereka kerjakan bersama Rasulullah SAW atau yang kemudian disempurnakan di rumah mereka sendiri-sendiri sehingga terdengar gemuruh seperti dengung lebah sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat At Turmudzi di atas. Oleh karena itu, ketika shahabat Umar menyatukannya dengan seorang Imam, tidak ada para shahabat yang mempertentangkannya, termasuk tentang bilangan rakaatnya.
KESIMPULAN :
1. Bilangan rakaat shalat tarawih menurut jumhur ulama’ adalah 20 rakaat dengan 10 kali salam (tiap dua rakaat salam) ditambah shalat witir 3 rakaat.
2. Shalat tarawih sunnah dilakukan dengan berjamaah.
3. Hadits yang diriwayatkan Siti Aisyah ra, yang merengkan Rasulullah SAW shalat malam tidak lebih dari sebelas (11) rakaat adalah tidak tepat dijadikan dasar bilangan rakaat shalat tarawih.

Kembali ke Amaliah Kita
Read More/Selengkapnya...

Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki "Sepuluh Keutamaan Orang-orang yang berpuasa"

Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki atau yang akrab dipanggil Abuya ini adalah salah seorang ulama kenamaan dari Timur-Tengah, khususnya di Arab Saudi. Karisma besarnya tidak hanya berhenti di sana tapi sudah masuk ke Asia lebih-lebih di tanah air. Murid-muridnya bertebaran di perbagai penjuru nusantra meramaikan lalu-lintas dakwah dengan ilmu-ilmu yang berkualitas. Di Malang sendiri sederet ulama terkemuka lahir dari tangan dinginnya, di antaranya, Habib Shaleh Al Aydarus, Habib Muhammad bin Idrus Al Haddad, Ustadz Husain Abdullah Abdun, dan masih banyak lagi.

Di musim haji kediaman Abuya ramai dikunjungi oleh para jamaah haji guna bertamu dan mengalap barakah dari beliau. Tak jarang beliau memberi uang dan kitab-kitab sebagai oleh-oleh untuk mereka. Kedekatannya dengan ulama tanah air sendiri merupakan warisan ayahnya Sayyid Alwi bin Abbas Al Maliki yang pada masa hidupnya aktif mengajar para santri dari Indonesia. KH. Hasyim Asyari salah satunya.

Kecerdasan Abuya yang luar biasa menempatkan beliau sebagai ulama top yang banyak dirujuk oleh ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dari seluruh dunia. Tidak berlebihan kiranya bila beliau dinobatkan sebagai ulama sekaligus Imam Ahlus Sunnah wal Jama`ah abad 21 meski beliau menetap di negara berhaluan konservatif (Wahabi) .

Kedalaman ilmunya memang sudah tidak terbantahkan. Ilmu Hadits dan Sirah (sejarah) adalah dua ilmu yang sangat dikuasai olehnya. Dari tangannya lahir sejumlah karya brilian yang banyak diajarkan, dikutip oleh para dai, khatib dan diteliti oleh para ahli, mulai santri hingga mahasiswa. Karya-karya Abuya yng ditinggalkan sebagai warisan intelektual untuk umat sangat banyak, antara lain Mafâhîm Yajibu an Tushahhah, Abwâbul Faraj, Al Manhalul Latîf, Khasâisul Ummatil Muhammadiyah, Al Qawâid Al Asasiyyah fi Ulûmil Qur`ân, Wahuwa fil Ufuqil A`lâ, Târîkhul Hawâdits an Nabawiyyah, Syarhu Mandzûmatil Waraqât, Qul Hâdzihi Sabilî.

Abuya mendapat perhatian yang besar dari umat Islam karena kejeliannya menangkap beberapa keutamaan-keutamaan umat Nabi Muhamad dibanding umat-umat terdahulu. Usahanya menguak kemuliaan orang-orang yang berpuasa dari umat Muhammad terlihat nyata dalam pembahasan pada salah satu kitabnya yang terkenal, Khasâisul Ummatil Muhammadiyah. Beliau mencoba membuat ringkasan rapi tentang puasa bertitik tolak dari Al Quran dan As Sunnah.

Abuya menorehkan sepuluh keutamaan orang-orang yang berpuasa yang ada pada umat ini.

Pertama, Allah memberikan keistimewaan kepada umat yang berpuasa dengan menyediakan satu pintu khusus di surga yang dinamai Al Rayyan. Pintu surga Al Rayyan ini hanya disediakan bagi umat yang berpuasa. Kata Nabi dalam satu haditsnya, pintu Rayyan hanya diperuntukkan bagi orang-orang berpuasa, bukan untuk lainnya. Bila pintu tersebut sudah dimasuki oleh seluruh rombongan ahli puasa Ramadhan, maka tak ada lagi yang boleh masuk ke dalamnya. (HR. Ahmad dan Bukhari-Muslim)

Kedua, Allah telah mengfungsikan puasa umat Nabi Muhammad saw sebagai benteng yang kokoh dari siksa api neraka sekaligus tirai penghalang dari godaan hawa nafsu. Dalam hal ini Rasul bersabda, “Puasa (Ramadhan) merupakan perisai dan benteng yang kokoh dari siksa api neraka.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi). Rasul menambahkan pula bahwa puasa yang berfungsi sebagai perisai itu layaknya perisai dalam kancah peperangan selama tidak dinodai oleh kedustaan dan pergunjingan. (HR. Ahmad, An Nasa`i, dan Ibnu Majah).

Ketiga, Allah memberikan keistimewaan kepada ahli puasa dengan menjadikan bau mulutnya itu lebih harum dari minyak misik. Sehingga Rasul bertutur demikian, “Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih semerbak di sisi Allah dari bau minyak misik.”

Keempat, Allah memberikan dua kebahagiaan bagi ahli puasa yaitu bahagia saat berbuka dan pada saat bertemu dengan Allah kelak. Orang yang berpuasa dalam santapan bukanya meluapkan rasa syukurnya dimana bersyukur termasuk salah satu ibadah dan dzikir. Syukur yang terungkap dalam kebahagiaan karena telah diberi kemampuan oleh Allah untuk menyempurnakan puasa di hari tersebut sekaligus berbahagia atas janji pahala yang besar dari-Nya. “Orang yang berpuasa mempunyai dua kebahagiaan. Yaitu berbahagia kala berbuka dan kala bertemu Allah,” kata Rasul dalam hadits riwayat imam Muslim.

Kelima, puasa telah dijadikan oleh Allah sebagai medan untuk menempa kesehatan dan kesembuhan dari beragam penyakit. “Berpuasalah kalian, niscaya kalian akan sehat.” (HR. Ibnu Sunni dan Abu Nu`aim).

Abuya menegaskan bahwa rahasia kesehatan di balik ibadah puasa adalah bahwa puasa menempah tubuh kita untuk melumatkan racun-racun yang mengendap dalam tubuh dan mengosongkan materi-materi kotor lainnya dari dalam tubuh.

Menurut kerangka berpikir Abuya, puasa ialah fasilitas kesehatan bagi seorang hamba guna meningkatkan kadar ketaqwaan yang merupakan tujuan utama puasa itu sendiri. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Qs. Al Baqarah: 183).

Keenam, keutamaan berikutnya yang Allah berikan kepada ahli puasa adalah dengan menjauhkan wajahnya dari siksa api neraka. Matanya tak akan sampai melihat pawai arak-arakan neraka dalam bentuk apapun juga. Rasul yang mulia berkata demikian, “Barangsiapa berpuasa satu hari demi di jalan Allah, dijauhkan wajahnya dari api neraka sebanyak (jarak) tujuh puluh musim.” (HR. Ahmad, Bukhari-Muslim, dan Nasa`i).

Ketujuh, dalam Al Quran Allah berfirman, “Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.” (Qs. At Taubah: 112).

Sebagian ulama ahli tafsir menerangkan bahwa orang –orang yang melawat (As Saihuun) pada ayat tersebut adalah orang yang berpuasa sebab mereka melakukan lawatan (kunjungan) ke Allah. Makna lawatan, tegas Abuya, di sini adalah bahwa puasa merupakan penyebab mereka (orang yang berpuasa) bisa sampai kepada Allah. Lawatan ke Allah ditandai dengan meninggalkan seluruh kebiasaan yang selama ini dilakoni (makan, minum, mendatangi istri di siang hari) serta menahan diri dari rasa lapar dan dahaga.

Sembari mengutip Al Quran pula, Abuya mencoba menganalisa surah Az Zumar ayat 10: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” Kata Al Maliki, orang-orang yang bersabarlah maksudnya adalah orang yang berpuasa sebab puasa adalah nama lain dari sabar. Di saat berpuasalah, orang-orang yang bersabar (dalam beribadah puasa) memperoleh ganjaran dan pahala yang tak terhitung banyaknya dari Dzat Yang Maha Pemberi, Allah swt.

Kedelapan, di saat puasa inilah Allah memberi keistemewaan dengan menjadikan segala aktifitas orang yang berpuasa sebagai ibadah dan ketaatan kepada-Nya. Karenanya, orang yang berpuasa dan ia meninggalkan ucapan yang tidak berguna (diam) adalah ibadah serta tidurnya dengan tujuan agar kuat dalam melaksanakan ketaatan di jalan-Nya juga ibadah. Dalam satu hadits riwayat Ibnu Mundih dinyatakan, “Diamnya orang yang berpuasa adalah tasbih, tidurnya merupakan ibadah, dan doanya akan dikabulkan, serta perbuatannya akan dilipatgandakan (pahalanya).”

Kesembilan, di antara cara yang Allah kenakan dalam memuliakan orang yang berpuasa, bahwa Allah menjadikan orang yang memberi makan berbuka puasa pahalanya sama persis dengan orang yang berpuasa itu sendiri meski dengan sepotong roti atau seteguk air. Dalam satu riwayat Nabi bertutur seseorang yang memberi makan orang yang puasa dari hasil yang halal, akan dimintakan ampunan oleh malaikat pada malam-malam Ramadhan…… meski hanya seteguk air. (Hr. Abu Ya`la).

Kesepuluh, orang yang berbuka puasa dengan berjamaah demi melihat keagungan puasa, maka para malaikat akan bershalawat (memintakan ampunan) baginya.

Sumber Habib Ali Akbar bin Aqil
Read More/Selengkapnya...

Jumlah Raka'at Shalat Tarawih Menurut Madhab Empat

Ada beberapa pendapat mengenai bilangan rakaat yang dilakukan kaum muslimin pada bulan Ramadhan sebagai berikut:

1. Madzhab Hanafi

Sebagaimana dikatakan Imam Hanafi dalam kitab Fathul Qadir bahwa Disunnahkan kaum muslimin berkumpul pada bulan Ramadhan sesudah Isya’, lalu mereka shalat bersama imamnya lima Tarawih (istirahat), setiap istirahat dua salam, atau dua istirahat mereka duduk sepanjang istirahat, kemudian mereka witir (ganjil).

Walhasil, bahwa bilangan rakaatnya 20 rakaat selain witir jumlahnya 5 istirahat dan setiap istirahat dua salam dan setiap salam dua rakaat = 2 x 2 x 5 = 20 rakaat.

2. Madzhab Maliki

Dalam kitab Al-Mudawwanah al Kubro, Imam Malik berkata, Amir Mukminin mengutus utusan kepadaku dan dia ingin mengurangi Qiyam Ramadhan yang dilakukan umat di Madinah. Lalu Ibnu Qasim (perawi madzhab Malik) berkata “Tarawih itu 39 rakaat termasuk witir, 36 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir” lalu Imam Malik berkata “Maka saya melarangnya mengurangi dari itu sedikitpun”. Aku berkata kepadanya, “inilah yang kudapati orang-orang melakukannya”, yaitu perkara lama yang masih dilakukan umat.

Dari kitab Al-muwaththa’, dari Muhammad bin Yusuf dari al-Saib bin Yazid bahwa Imam Malik berkata, “Umar bin Khattab memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim al-Dari untuk shalat bersama umat 11 rakaat”. Dia berkata “bacaan surahnya panjang-panjang” sehingga kita terpaksa berpegangan tongkat karena lama-nya berdiri dan kita baru selesai menjelang fajar menyingsing. Melalui Yazid bin Ruman dia berkata, “Orang-orang melakukan shalat pada masa Umar bin al-Khattab di bulan Ramadhan 23 rakaat”.

Imam Malik meriwayatkan juga melalui Yazid bin Khasifah dari al-Saib bin Yazid ialah 20 rakaat. Ini dilaksanakan tanpa wiitr. Juga diriwayatkan dari Imam Malik 46 rakaat 3 witir. Inilah yang masyhur dari Imam Malik.

3. Madzhab as-Syafi’i

Imam Syafi’i menjelaskan dalam kitabnya Al-Umm, “bahwa shalat malam bulan Ramadhan itu, secara sendirian itu lebih aku sukai, dan saya melihat umat di madinah melaksanakan 39 rakaat, tetapi saya lebih suka 20 rakaat, karena itu diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab. Demikian pula umat melakukannya di makkah dan mereka witir 3 rakaat.

Lalu beliau menjelaskan dalam Syarah al-Manhaj yang menjadi pegangan pengikut Syafi’iyah di Al-Azhar al-Syarif, Kairo Mesir bahwa shalat Tarawih dilakukan 20 rakaat dengan 10 salam dan witir 3 rakaat di setiap malam Ramadhan.

4. Madzhab Hanbali

Imam Hanbali menjelaskan dalam Al-Mughni suatu masalah, ia berkata, “shalat malam Ramadhan itu 20 rakaat, yakni shalat Tarawih”, sampai mengatakan, “yang terpilih bagi Abu Abdillah (Ahmad Muhammad bin Hanbal) mengenai Tarawih adalah 20 rakaat”.

Menurut Imam Hanbali bahwa Khalifah Umar ra, setelah kaum muslimin dikumpulkan (berjamaah) bersama Ubay bin Ka’ab, dia shalat bersama mereka 20 rakaat. Dan al-Hasan bercerita bahwa Umar mengumpulkan kaum muslimin melalui Ubay bin Ka’ab, lalu dia shalat bersama mereka 20 rakaat dan tidak memanjangkan shalat bersama mereka kecuali pada separo sisanya. Maka 10 hari terakhir Ubay tertinggal lalu shalat dirumahnya maka mereka mengatakan, “Ubay lari”, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan as-Saib bin Yazid.

Kesimpulan

Dari apa yang kami sebutkan itu kita tahu bahwa para ulama’ dalam empat madzhab sepakat bahwa bilangan Tarawih 20 rakaat. Kecuali Imam Malik karena ia mengutamakan bilangan rakaatnya 36 rakaat atau 46 rakaat. Tetapi ini khusus untuk penduduk Madinah. Adapun selain penduduk Madinah, maka ia setuju dengan mereka juga bilangan rakaatnya 20 rakaat.

Para ulama ini beralasan bahwa shahabat melakukan shalat pada masa khalifah Umar bin al-Khattab ra di bulan Ramadhan 20 rakaat atas perintah beliau. Juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi dengan sanad yang shahih dan lain-lainnya, dan disetujui oleh para shahabat serta terdengar diantara mereka ada yang menolak. Karenanya hal itu menjadi ijma’, dan ijma’ shahabat itu menjadi hujjah (alasan) yang pasti sebagaimana ditetapkan dalam Ushul al-Fiqh.

KH Muhaimin Zen
Ketua Umum Pengurus Pusat Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz (JQH) NU
Read More/Selengkapnya...

PENGERTIAN QIYAMU RAMADHAN

Shalat Tarawih merupakan Ibadah yang unik bagi umat Islam di Indonesia, selalu saja setiap tahun menjelang bulan Ramadhan dan dalam bulan Ramadhan menjadi bahan pembicaraan dan kajian bagi kalangan intelektual. Bahkan ada juga di kalangan masyarakat papan menengah ke bawah dan pinggiran, menjadi sumber konflik, antara jamaah satu dengan jamaah lain, antara masjid satu dengan masjid lainnya bahkan ada yang konflik antar keluarga, antara menantu dan mertua bisa terjadi retak dan bercerai gara-gara tidak sepaham dengan amaliyah yang dianutnya.

Pasalnya adalah masalah tarawih di bulan Ramadhan, ada yang mengerjakan 20 rakaat dan ada yang 8 rakaat. Masalah furuiyyah yang kental dengan khilafiyyah ini sudah lama menjadi kajian para fuqaha terdahulu dan sudah disiapkan jawabannya. Tinggal bagaimana kita bisa menyikapi permasalahan “khilafiyyah” tersebut.

Bagi mereka yang dapat memanfaatkan dan menghargai usaha dan pemikiran para fuqaha tersebut maka dapat merasakan rahmat dan nikmatnya ikhtilaf, tapi bagi mereka yang tidak mau menggunakannya maka menjadi mala petaka baginya dan umat yang dipimpinnya.

Sebenarnya permasalahan apa yang mereka ributkan itu? Permasalahnnya adalah berangkat dari hadits Nabi yang berbunyi:


عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: من قام رمضان ايماناواحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه. رواه البخاري

Barang siapa shalat pada malam Ramadhan karena iman dan semata-mata taat kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Al-bukhari).

Dari hadis ini timbul perbedaan pemahaman apakah yang dimaksud من قام itu قيام اليل atau tarawih, maka berikut ini penulis mencoba mengemukakan pandangan para ulama sebagai berikut:

Pemahaman bahwa kegiatan shalat sunah di malam-malam Ramadhan dikatakan tarawih atau qiyamu Ramadhan adalah didasarkan sabda Nabi SAW:

عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: من قام رمضان ايماناواحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه. رواه البخاري

Barang siapa shalat pada “malam Ramadhan” karena iman dan semata-mata taat kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Al-bukhari).

Kata “Tarawih” adalah jama’ dari “Tarawih” yaitu satu kali dari “Rahah” (istirahat), seperti kata “Taslimah” dari “salam”. Shalat Tarawih berjamah pada malam-malam Ramadhan dinamakan Tarawih karena kaum muslimin pertama kali berkumpul untuk shalat itu mereka beristirahat pada setiap dua kali salam.

Arti (من قام رمضان) ialah berdiri untuk shalat pada malam-malam Ramadhan. Yang dimaksud dengan Qiyam al-Lail ialah asal berdiri yang terjadi pada malam itu, tidak disyaratkan harus mencakup seluruh malam.

Imam Nawawi berkata dalam Syarah Shahih Muslim: Yang dimaksud Qiyam Ramadhan adalah Shalat Tarawih. Yakni bahwa dengan melakukan shalat itu, maka terpenuhilah bahwa apa yang dimaksud dari Qiyam itu, begitu juga Al-kirmani, “mereka sepakat bahwa yang dimaksud Qiyam Ramadhan adalah shalat Tarawih”.

Arti (ايمان ) ialah membenarkan bahwa Allah adalah haq dengan meyakini keutamaan-Nya. Sedang arti (احتسابا ) ialah hanya mengharapkan Allah SWT saja dan tidak menghendaki dilihat oleh manusia dan tidak pula selain itu yang bertentangan dengan ikhlas.

Pada kajian berikutnya akan dibahas mengenai jumlah rakaat dan keutamaan mengerjakan shalat tarawih secara berjamaah.

KH Muhaimin Zen
Ketua Umum Pengurus Pusat Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz (JQH) NU
Read More/Selengkapnya...