Senin, 18 April 2011

AYAT SAJADAH & SUJUD TILAWAH

Ayat Sajadah adalah ayat-ayat tertentu dalam al-quran yang bila dibaca disunnatkan bagi yang membaca dan yang mendengarkan untuk melakukan sujud tilawah.

Sujud tilawah adalah sujud yang disebabkan karena membaca atau mendengar ayat-ayat sajadah yang terdapat dalam Al Qur’an Al Karim.

Ayat sajadah di dalam Al Qur’an terdapat pada 15 tempat. Sepuluh tempat disepakati. Empat tempat masih dipersilisihkan, namun terdapat hadits shahih yang menjelaskan hal ini. Satu tempat adalah berdasarkan hadits, namun tidak sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi sebagian melakukan sujud tatkala bertemu dengan ayat tersebut.

Sepuluh ayat yang disepakati sebagai ayat sajadah

1. QS. Al A’rof ayat 206 2. QS. Ar Ro’du ayat 15 3. QS. An Nahl ayat 49-50 4. QS. Al Isro’ ayat 107-109 5. QS. Maryam ayat 58 6. QS. Al Hajj ayat 18 7. QS. Al Furqon ayat 60 8. QS. An Naml ayat 25-26 9. QS. As Sajdah ayat 15 10. QS. Fushilat ayat 38 (menurut mayoritas ulama), QS. Fushilat ayat 37 (menurut Malikiyah)

Empat ayat yang termasuk ayat sajadah namun diperselisihkan, akan tetapi ada dalil shahih yang menjelaskannya

1. QS. Shaad ayat 24 2. QS. An Najm ayat 62 (ayat terakhir) 3. QS. Al Insyiqaq ayat 20-21 4. QS. Al ‘Alaq ayat 19 (ayat terakhir)

Keutamaan Sujud Tilawah

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika anak Adam membaca ayat sajadah, lalu dia sujud, maka setan akan menjauhinya sambil menangis. Setan pun akan berkata-kata: “Celaka aku. Anak Adam disuruh sujud, dia pun bersujud, maka baginya surga. Sedangkan aku sendiri diperintahkan untuk sujud, namun aku enggan, sehingga aku pantas mendapatkan neraka.” (HR. Muslim no. 81)

Begitu juga keutamaan sujud tilawah dijelaskan dalam hadits yang membicarakan keutamaan sujud secara umum.

Dalam hadits tentang ru’yatullah (melihat Allah) terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Hingga Allah pun menyelesaikan ketentuan di antara hamba-hamba- Nya, lalu Dia menghendaki dengan rahmat-Nya yaitu siapa saja yang dikehendaki untuk keluar dari neraka. Dia pun memerintahkan malaikat untuk mengeluarkan dari neraka siapa saja yang sama sekali tidak berbuat syirik kepada Allah. Termasuk di antara mereka yang Allah kehendaki adalah orang yang mengucapkan ‘laa ilaha illallah’. Para malaikat tersebut mengenal orang-orang tadi yang berada di neraka melalui bekas sujud mereka. Api akan melahap bagian tubuh anak Adam kecuali bekas sujudnya. Allah mengharamkan bagi neraka untuk melahap bekas sujud tersebut.” (HR. Bukhari no. 7437 dan Muslim no. 182)

Dalam shahih Muslim, An Nawawi menyebutkan sebuah Bab “Keutamaan sujud dan dorongan untuk melakukannya”.

Dari Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia ditanyakan oleh Ma’dan bin Abi Tholhah Al Ya’mariy mengenai amalan yang dapat memasukkannya ke dalam surga atau amalan yang paling dicintai di sisi Allah. Tsauban pun terdiam, hingga Ma’dan bertanya sampai ketiga kalinya. Kemudian Tsauban berkata bahwa dia pernah menanyakan hal ini pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab,

“Perbanyaklah sujud kepada Allah. Sesungguhnya jika engkau bersujud sekali saja kepada Allah, dengan itu Allah akan mengangkat satu derajatmu dan juga menghapuskan satu kesalahanmu”.

Ma’dan berkata, “Kemudian aku bertemu Abud Darda, lalu menanyakan hal yang sama kepadanya. Abud Darda’ pun menjawab semisal jawaban Tsauban kepadaku.” (HR. Muslim no.488)

Juga hadits lainnya yang menceritakan keutamaan sujud yaitu hadits Robi’ah bin Ka’ab Al Aslamiy. Dia menanyakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai amalan yang bisa membuatnya dekat dengan beliau di surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Bantulah aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sujud Tilawah Wajib Ataukah Sunnah?

Para ulama sepakat (beijma’) bahwa sujud tilawah adalah amalan yang disyari’atkan. Di antara dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar:

“Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca Al Qur’an yang di dalamnya terdapat ayat sajadah. Kemudian ketika itu beliau bersujud, kami pun ikut bersujud bersamanya sampai-sampai di antara kami tidak mendapati tempat karena posisi dahinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kemudian para ulama berselisih pendapat apakah sujud tilawah wajib ataukah sunnah.

Menurut Ats Tsauri, Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sujud tilawah itu wajib.

Sedangkan menurut jumhur (mayoritas) ulama yaitu Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i, Al Laitsi, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Daud dan Ibnu Hazm, juga pendapat sahabat Umar bin Al Khattab, Salman, Ibnu ‘Abbas, ‘Imron bin Hushain, mereka berpendapat bahwa sujud tilawah itu sunnah dan bukan wajib.

Dalil ulama yang menyatakan sujud tilawah adalah wajib, yaitu firman Allah Ta’ala,

“Mengapa mereka tidak mau beriman? dan apabila Al Quraan dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud.” (QS. Al Insyiqaq: 20-21).

Para ulama yang mewajibkan sujud tilawah beralasan, dalam ayat ini terdapat perintah dan hukum asal perintah adalah wajib. Dan dalam ayat tersebut juga terdapat celaan bagi orang yang meninggalkan sujud. Namanya celaan tidaklah diberikan kecuali pada orang yang meninggalkan sesuatu yang wajib.

Yang lebih tepat adalah sujud tilawah tidaklah wajib, namun sunnah (dianjurkan) . Dalil yang memalingkan dari perintah wajib adalah hadits muttafaqun ‘alaih (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

Dari Zaid bin Tsabit, beliau berkata,

“Aku pernah membacakan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam surat An Najm, (tatkala bertemu pada ayat sajadah dalam surat tersebut) beliau tidak bersujud.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bukhari membawakan riwayat ini pada Bab “Siapa yang membaca ayat sajadah, namun tidak bersujud.”

Dalil lain yang memalingkan dari perintah wajib adalah perbuatan Umar bin Khattab dan perbuatan beliau ini tidak diingkari oleh para sahabat lainnya ketika khutbah Jum’at. Pada hari Jum’at Umar bin Khattab pernah membacakan surat An Nahl hingga sampai pada ayat sajadah, beliau turun untuk sujud dan manusia pun ikut sujud ketika itu. Ketika datang Jum’at berikutnya, beliau pun membaca surat yang sama, tatkala sampai pada ayat sajadah, beliau lantas berkata,

“Wahai sekalian manusia. Kita telah melewati ayat sajadah. Barangsiapa bersujud, maka dia mendapatkan pahala. Barangsiapa yang tidak bersujud, dia tidak berdosa.” Kemudian ‘Umar pun tidak bersujud. (HR. Bukhari no. 1077)

Dari sinilah Ibnu Qudamah mengatakan bahwa hukum sujud tilawah itu sunnah (tidak wajib) dan pendapat ini merupakanijma’ sahabat (kesepakatan para sahabat). (Lihat Al Mughni, 3/96)

Tata Cara Sujud Tilawah

[Pertama] Para ulama bersepakat bahwa sujud tilawah cukup dengan sekali sujud.

[Kedua] Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat.

[Ketiga]

Tidak disyari’atkan -berdasarkan pendapat yang paling kuat- untuk takbiratul ihram dan juga tidak disyari’atkan untuk salam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,

“Sujud tilawah ketika membaca ayat sajadah tidaklah disyari’atkan untuk takbiratul ihram, juga tidak disyari’atkan untuk salam. Inilah ajaran yang sudah ma’ruf dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga dianut oleh para ulama salaf, dan inilah pendapat para imam yang telah masyhur.” (Majmu’ Al Fatawa, 23/165)

[Keempat] Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud. Hal ini berdasarkan keumuman hadits Wa-il bin Hujr, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir. Beliau pun bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit dari sujud.” (HR. Ahmad, Ad Darimi, Ath Thoyalisiy. Hasan)

[Kelima] Lebih utama sujud tilawah dimulai dari keadaan berdiri, ketika sujud tilawah ingin dilaksanakan di luar shalat. Inilah pendapat yang dipilih oleh Hanabilah, sebagian ulama belakangan dari Hanafiyah, salah satu pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, dan juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dalil mereka adalah: “Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud.” (QS. Al Isro’: 107).

Kata mereka, yang namanya yakhirru (menyungkur) adalah dari keadaan berdiri. Namun, jika seseorang melakukan sujud tilawah dari keadaan duduk, maka ini tidaklah mengapa. Bahkan Imam Syafi’i dan murid-muridnya mengatakan bahwa tidak ada dalil yang mensyaratkan bahwa sujud tilawah harus dimulai dari berdiri. Mereka mengatakan pula bahwa lebih baik meninggalkannya. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/449) Bagaimana Tata Cara Sujud Tilawah bagi Orang yang Sedang Berjalan atau Berkendaraan?

Siapa saja yang membaca atau mendengar ayat sajadah sedangkan dia dalam keadaan berjalan atau berkendaraan, kemudian ingin melakukan sujud tilawah, maka boleh pada saat itu berisyarat dengan kepalanya ke arah mana saja. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/450 dan lihat pula Al Mughni)

Dari Ibnu ‘Umar: Beliau ditanyakan mengenai sujud (tilawah) di atas tunggangan. Beliau mengatakan, “Sujudlah dengan isyarat.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih)

Bacaan Ketika Sujud Tilawah

Bacaan ketika sujud tilawah sama seperti bacaan sujud ketika shalat. Ada beberapa bacaan yang bisa kita baca ketika sujud di antaranya:

(1) Dari Hudzaifah, beliau menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika sujud beliau membaca:

“Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi] (HR. Muslim no. 772)

(2) Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika ruku’ dan sujud:

“Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummagh firliy.” [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku] (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484)

(3) Dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sujud membaca:

“Allahumma laka sajadtu, wa bika aamantu wa laka aslamtu, sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin.” [Ya Allah, kepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta] (HR. Muslim no. 771) Bolehkah Melakukan Sujud Tilawah di Waktu Terlarang untuk Shalat?

Sujud tilawah boleh dilakukan di waktu terlarang untuk shalat.Alasannya, karena sujud tilawah bukanlah shalat. Sedangkan larangan shalat di waktu terlarang adalah larangan khusus untuk shalat. Inilah pendapat yang lebih kuat di antara pendapat para ulama. Inilah pendapat Imam Syafi’i dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad. Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Hazm. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/452)

Bagaimana Ketika Membaca Ayat Sajadah, Luput Dari Sujud Tilawah?

Dianjurkan bagi orang yang membaca ayat sajadah atau mendengarnya langsung bersujud setelah membaca ayat tersebut, walaupun mungkin telat beberapa saat. Namun, apabila sudah lewat waktu yang cukup lama antara membaca ayat dan sujud, maka tidak ada anjuran sujud sahwi karena dia sudah luput dari tempatnya. Inilah pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/452)

Bagaimana Jika Ayat Sajadah Berada Di Akhir Surat?

Surat yang terdapat ayat sajadah di akhir adalah seperti surat An Najm ayat 62 dan surat Al ‘Alaq ayat 19. Maka ada tiga pilihan dalam kasus ini.

[Pilihan pertama] Ketika membaca ayat sajadah lalu melakukan sujud tilawah kemudian setelah itu berdiri kembali dan membaca surat lain kemudian ruku’. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Umar bin Khaththab. Ketika shalat shubuh, beliau membaca surat Yusuf pada raka’at pertama. Kemudian pada raka’at kedua, beliau membaca surat An Najm (dalam surat An Najm terdapat ayat sajadah, pen), lalu beliau sujud (yaitu sujud tilawah). Setelah itu, beliau bangkit lagi dari sujud kemudian berdiri dan membaca surat “Idzas samaa-un syaqqot” (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Rozaq dan Ath Thohawiy dengan sanad yang shahih)

[Pilihan kedua] Jika ayat sajadah di ayat terakhir dari surat, maka cukup dengan ruku’ dan itu sudah menggantikan sujud. Ibnu Mas’ud pernah ditanyakan mengenai surat yang di akhirnya terdapat ayat sajadah, “Apakah ketika itu perlu sujud ataukah cukup dengan ruku’?” Ibnu Mas’ud mengatakan, “Jika antara kamu dan ayat sajadah hanya perlu ruku’, maka itu lebih mendekati.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih)

[Pilihan ketika] Jika ayat sajadah di ayat terakhir di suatu surat, ketika membaca ayat tersebut, lalu sujud tilawah, kemudian bertakbir dan berdiri kembali, lalu dilanjutkan dengan ruku’ tanpa ada penambahan bacaan surat. Dari tiga pilihan di atas, cara pertama adalah yang lebih utama. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 453-454)

Bagaimana Jika Membaca Ayat Sajadah Di Atas Mimbar?

Jika ayat sajadah dibaca di atas mimbar, maka dianjurkan pula untuk melakukan sujud tilawah dan para jama’ah juga dianjurkan untuk sujud. Namun apabila sujud itu ditinggalkan, maka ini juga tidak mengapa. Hal ini telah ada riwayatnya sebagaimana terdapat pada riwayat Ibnu ‘Umar yang telah lewat.

Semoga bermanfaat.
Read More/Selengkapnya...

Jumat, 08 April 2011

Peran Thoriqoh Dalam Membersihkan Hati

Oleh : Al Habib Luthfi bin Yahya

Bila kita mau melihat lebih jauh tentang filosofis atau makna‘ Al Mudghoh’ yang di sebutkan pada bahasan sebelumnya ((ألا إن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب) [البخاري ومسلم]). Hati sering digunakan dengan maksud makna jiwa, dan hati yang bermakna liver. Untuk menggambarkan betapa pentingnya menjaga hati yang bermakna jiwa manusia saya akan menguraikan mudhgoh atau hati dalam hadis tersebut dengan makna liver. Ini analog saja untuk memudahkan pemahaman pada tujuan dari pembahasan kita ini.


Mudghoh atau hati letaknya di dalam tubuh manusia. Tubuh manusia membutuhkan perhatian yang serius. Perlu kita ketahui bahwa penyakit-penyakit manusia bersumberkan dari hati . baik dan tidaknya metabolism tubuh seseorang tergantung pada baik dan tidaknya darah darah orang tersebut. Dan darah itu akan menjadi baik dan tidak tergantung dua hal:

Pertama; apa yang dimakan dan yang dan bagaimana cara memperoleh makanan itu. Apa yang dimakan adalah harus sehat, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, daging-dagingan yang memperkuat stamina. Kemudian darimana yang kita makan atau bagaimana cara mendapatkan makanan itu. Yang jelas makanannya harus halal, halal disini sudak mencakup pengertian makanan itu diperoleh dengan cara yang benar.

Kedua darah itu baik dan tidaknya adalah bersumber dari pencernaan. Pencernaan yang berfungsi dengan baik akan membuat darah baik dan begitu juga sebaliknya; jika pencernaannya tidak berfungsi dengan baik maka darah yang dihasilkannya juga tidak baik.

Upaya untuk membantu memperbaiki pencernaan biasa kita lakukan paling tidak satu tahun sekali; yaitu puasa Ramadhan. Puasa Ramadhan diantara manfaatnya adalah membersihkan semua organ-organ manusia. Panasnya pencernaan orang-orang yang berpuasa akan membakar hal-hal yang negative dalam pencernaan seperti bachsil dan bakteri. Dan lain sebagainya. Dengan demikian pencernaan dapat kita analogikan seperti bejana yang kita gunakan untuk memasakn segala sesuatu.

Kita bayangkan seandainya bejana itu tidak pernah dicuci. Setalah kita gunakan untuk memasak ikan laut, kita gunakan untuk memasak telur, terus demikian silih beganti sehingga menimbulkan kerak pada bejana itu. Demikian pula pencernaan, kerak-kerak, imbas daripada yang kita makan lambat atau cepat mempengaruhi proses kerja perncernaan atas makanan yang kita konsumsi.

Sangat jelas sekali bahwa pencernaan tidak bisa bekerja sendiri. Hasil proses pencernaan dilimpahkan ke ginjal, pancreas sampai pada liver. Dari kerja sama yang kompak menghasilkan beberapa hal, diantaranya darah putih, darah merah, sperma, keringat, air kencing dan kotoran.

Dari hasil kerja sama yang baik antara organ tubuh manusia tersebut akan menghasilkan lima hal di atas yang baik pula. Bila akibat proses kerja pencernaan yang kurang baik sehingga terjadi darah kotor dalam tubuh manusia, maka sangat diperlukan sekali pembersih. Yang pertama untuk membersihkan pencernaan yang menjadi sumber pengelola makanan dalam tubuh. Kedua membersihkan apa yang telah di olah.

Tugas liver adalah menjatah atau menyalurkan darah ke jantung, ke otak kecil. Apakah tidak mungkin apabila darah atau kotoran akan mempengaruhi fisik otak manusia serta sarafnya. Sehingga kurang mampu untuk berfikir baik, membuka wawasan, dan pandangan yang jauh. Apalagi jelas kita tidak menginginkan pola fikir-pola fikir yang kurang baik. Yang tidak menguntungkan bagi pribadi kita, baik dalam urusan dunia dan maupun akhirat kita.

Dengan hasil darah yang baik, sehat, akan sangat membantu dalam kecerdasan; dari kecerdasan hati sampai kecrdasan akal. Sehingga menumbuhkan pola fikir dan wawasan serta pandangan yan jernih. Bisa memilah mana yang menguntungkan dalam dunia dan akhiratnya. Dan mana yang merugikan dalam kedua hal tersebut.

Secara fisik saja sangat memerlukan kesehatan dan kebersihan. Hati adalah bagian tubuh manusia yang sangat berperan dalam memberikan atau dalam mensuport pola fikir, wawasan dan pandangan manusia, karena hati adalah tempatnya iman dan tempatnya nafsu. Lalu apa yang terjadi jika kita tidak mempunyai alat untuk membersihkannya.

Kita harus memberikan makanan hati serta pembersihnya seperti ilmu ma’rifat dan lain sebagainya, yang terkait dengan keimanan serta pertumbuhannya. Paling tidak kita bisa memilih mana yang di dorong oleh imannya dan mana yang didorong oleh nafsunya.
Seperti masalah pencernaah diatas bukan sesuatu hal yang mustahil bilamana kita mendiamkan kotoran-kotoran hati maka akan mempengaruhi pola fikir yang pada dasarnya akan merugikan diri sendiri. (tobe continu [Tsi])

sumber : http://www.habibluthfiyahya.net
Read More/Selengkapnya...

Kamis, 07 April 2011

BERTASBIH BERSAMA ALAM

[Lanjutan Pengantar Memahami Thariqoh oleh Al Habib M. Luhtfi bin Yahya]

Allah Swt menciptakan alam semesta, menciptakan bumi dengan keaneka ragaman hayati. Allah Swt menciptakan bukit dan gunung, menciptakan pepohonan yang mempunyai jenis yang bermacam-macam; berkulit halus, kasar, berduri, berwarna-warni dengan segala bentuk dan rasa buah-buahannya. Satu sama lain mempunyai perbedaan, ada yang serupa tapi tak sama; manis, pahit, asam, ketir, dan lainnya. Bumi dihiasi pula dengan aliran-aliran sungai besar dan sungai yang kecil memanjang, berupa-rupa, berkelok-kelokan, airnyapun mempunyai banyak kandungannya. Gunung-gunung tegak-tegap memancang, ada yang aktif berapi ada yang tidak.

Laut terhampar diatas bumi, adakalanya tinggi lautnya disuatu daerah lebih tinggi dari daratan seperti yang terjadi di beberapa daerah. Walaupun sama asinnya, tetapi jelas berbeda. Penghuni lautan dan daratan juga beraneka ragam. Semua itu bukan sebatas hiasan pemandangan alam, tetapi juga untuk direnungkan dan di pikirkan. Karena ilmu Allah yang diberikan pada makhluknya berbeda-beda dan memiliki keutamaan yang berbeda pula. Pertanyaannya sejauhmana kita bisa menggapai ilmu yang ada pada setiap yang diciptakan oleh Allah. Kita hanya mampu berucap Subhanallah.

Apalagi kita mau melihat lebih jauh atau mengerti, mengetahui lebih jauh apa yang ada dalam perut bumi. Secara kasat mata kita tidak bisa melihatnya dimana didalamnya (perut bumi) terdapat palung-palung, gunung-gunung kecil, didalamnya tedapat kantong-kantong gas, minyak dan kekayaan alam lainnya. Dengan ilmullah (ilmu Allah yang diberikan pada manusia) manusia mendapat kemampuan yang dengannya kita dapat menguak apa yang ada dalam perut bumi, bahkan bisa kita ambil, seperti minyak, biji besi, tembaga, kuningan, emas, perak dan bau-batu berharga.

Dan bagaimana peranan gunung berapi yang bersumberkan dari sekian kilometer yang menghubungkan daratan dengan lautan. Dan mampu menyedot air laut melalui lapisan-lapisan bumi yang sangat rapi , kemudian dikelola oleh gunung berapi tersebut; memproduksi air tawar, belerang, kandungan besi adapula yang memproduksi lumpur yang cukup mempunyai kandungan garam seperti di Purwodadi. Tak salah lagi ini menjadi nilai tambah bagi pendapatan penduduk sekitar.

Sekali lagi saya ucapkan Subhanallah (Maha Suci Allah).

Akan tetapi kita mengerti dan meyakini selain Yang Maha dalam segala sifatNya dan tiada sekutu BagiNya, selain Dia adalah makhluk, tempatnya segala kekurangan. Sadar atau tidak.

Kita semua (yang bernyawa ataupun tidak) berikhtiar untuk mengurangi atau mengatasi segala kekurangan, pohon-pohon dengan akarnya berusaha untuk menghidupi dirinya begitu pula makhluk lainnya selain pepohonan. Dan banyak sekali diantara satu sama lain yang terkait dalam menjalani kehidupan. Ketika kita kepanasan ingin mencari penyejuk –semisal ketika kita ditengah pesawahan- mencari peneduh seperti pohon yang rindang, banyak dahan dan ranting serta lebat daunnya.

Dengan langkah kaki kita, kita mau tidak mau dengan suka rela datang ke pohon tersebut. Demikian pula pohon yang kita teduhi tersebut ingin berteduh (meminta perlindungan) pada manusia; ingin diramut, dipelihara dan disirami air. Namun apabila bumi ini menjadi perekat diantara satu sama yang lain, makhluk hidup didalamnya -umpamanya manusia- pohon atau makhluk hidup lainnya memerlukan menu yang cukup untuk memenuhi kebutuhan asupan giji.

Kita jarang atau bahkan tidak menyadari keadaan saling membutuhkan itu, dari sebab kesalahan itu akan menambah kerapuhan bumi. Dan menjadikan pori-pori daya serap yang lebih tertutup sehingga filter yang ada dalam tubuh bumi tiada mampu mengantisipasi.

Maka efeknya adalah tumbuhan atau ekosistem yang ada diatasnya akan mengalami kerusakan, tak ubahnya bilamana lapisan ozon telah rusak maka kebocoran ozon itu akan menyebabkan panas yang tidak normal. Dari akibat itu daya tarik matahari yang meningkat terhadap air laut bisa lebih tinggi disamping akan semakin cepat mencairnya gunung-gunung es di kutub. Maka untuk mengantsipasi sepaya daya serap bumi terhadap air laut, perlu dijaga kebersihan panai-pantai. Kebersihan pantai dari sampah-sampah akan membantu pertumbuhan butir-butir bumi serta akan menyebabkan bumi semakin sehat.

Begitupula curah hujan lebih dari hitungan masa kemarau atau musim hujan. Dengan menjaga bumi dari segala kotoran atau limbah, akan sangat membantu, pohon-pohonan dalam mentralisir daya serap daun-daunan dari pengaruh ultraviolet. Maka termasuk ikhtiar secara batiniyyah adalah dengan mengembangkan dzikir dan tasbih dengan cara penghijaun atau reboisasi bumi. Karena setiap tumbuhan khususnya dedaunan membaca tasbih kepada Allah. Tasbihnya tersebut menjadi sebab turunnya rahmat dari Allah kepada lingkungannya dimana pohon atau tumbuhan itu berada.

Dari itu yang bertasbih bukan saja pohon-pohonan, batu kerikil, pasir, semua bertasbih kepada Allah Swt.
Saya mengambil satu hadis riwayat Ibnu Abbas yang disepakati kesahihannya. Redaksi hadisnya demikian:

أنه مر بقبرين يعذبان فقال : إنهما ليعذبان وما يعذبان في كبير أما أحدهما فكان لا يستتر من البول وأما الآخر فكان يمشي بالنميمة ثم أخذ جريدة رطبة فشقها نصفين ثم غرز في كل قبر واحدة فقالوا : يا رسول الله لم صنعت هذا ؟ فقال : لعله يخفف عنهما ما لم ييبسا .
متفق عليه رواه البخاري ومسلم وغيرهما

Ketika Rasulullah Saw melewati pekuburan Rasul mendengar dua penghuni kubur sedang menangis, lalu Rasulullah menebas pelapah kurma, pelapah itu kemudian ditancapkanoleh Rasulullah Saw diatas pusara kedua kubur tersebut. Kemudian yang menangis didalam kubur tersebut diam. Bertanya sahabat; ‘apakah maksudnya pelapah kurma ditancapkan dipusara tersebut. Rasulullah menjawab; ‘selagi pelapah kurma iu belum kering, pelapah itu terus membaca tasbih kepada Allah. Dari sebab tasbihnya, Allah Taala menurunkan rahmat’.

Maka dari sebab tasbihnya pelapah dan dedaunan yang ada pada pelapah tersebut orang yang didalam kubur telah mendapat rahmatnya Allah Taala, tiada musibah yang paling besar untuk setiap manusia, sebelum dipadang makhsar selain adzab kubur.

Dari sebab daun tersebut bisa meringankan siksa kubur, ini yang membuat saya takjub, subhanallah!

Kita kembali kepada diri kita kalau mau bertafakur; seandainya penghijauan dari mulai tepian pantai dan mau mengerti apa yang senarnya ada pada pohon-pohonan tersebut insya Allah kita akan dijauhkan dari segala cobaan, terutama diakhirat nanti. Tapi tidak bisa dielakan dan dipungkiri, ladang untuk akhirat nanti adalah didunia ini. Ternyata yang memerlukan kebersihan batin, bukan manusia saja, akan tetapi termasuk juga bumi, dan ekosistem diatasnya. tobe continu (18/01) [Tsi]
Read More/Selengkapnya...

PENGANTAR MEMAHAMI THORIQOH

BERSAMA  HABIB LUTHFI  bin  YAHYA

Thoriqoh adalah jalan menuju kepada Allah Swt. Setelah kita mengetahui tentang prinsip (aqidah), sehingga kita mengetahui mana yang wajib mana yang mustahil dan mana yang ja’iz bagi Allah. Dan bisa mengetahui serta bisa membedakan mana yang hak dan mana yang batil, mana yang halal dan mana yang haram. Serta mengetahui kewajiban-kewajiban individu kepada TuhanNya. Seperti Sholat –khususnya- dengan syarat-syaratnya. Walaupun cara mempelajarinya tidak semudah yang kita harapkan, secara sempurna. Namun paling tidak sudah melangkah sesuai ketentuan (hukum) dan sesuai dengan ilmu.

Apabila telah mempelajari itu secukupnya, alangkah baiknya segera untuk mempelajari atau masuk kedalam thoriqoh yang sehingga bisa mengantarkan hati dalam menemukan kekhusyu’an dalam menjalankan sholatnya. Dari itu akan tambah disanubarinya; merasa dilihat dan di dengar oleh Allah Swt. Hal yang demikian tidak hanya dalam sholat belaka tetapi akan menjadi bekal hidup, untuk sehari-harinya.

Akan tetapi tidak mudah untuk mendapatkan ke-khusyu’an. Merasa dilihat dan didengar oleh Allah. Dan mensosialisasikan, khususnya untuk pribadi. Karena itu sesuai dengan sabda Nabi Saw; “setiap manusia dalam tubuhnya terdapat segumpal daging yang disebut ‘mudhoh’, bila segumpal darah itu baik, bersih, semuanya akan berpengaruh baik dalam pola pikir dan lain sebagainya”. Lalu sahabat bertanya; ‘apakah mudhgoh itu wahai Rasulullah Saw. Di jawab oleh baginda Nabi Saw; ‘ mudhgoh itu adalah hati’.

Sumber segala penyakit, seperti takabur, sombong, dengki, hasud, pelupa kepada yang Maha Kuasa dan penyakit hati yang lainnya, sumbernya ada dihati itu sendiri. Kalau kita mandi, wudhu, cuci muka, jelas alatnya; pembersih tersebut adalah air. Bahkan ada yang menambah dengan farfum. Tidak cukup dengan air saja maka ditambah dengan farfum, selain itu memakai alat pembersih seperti sabun. Sehingga selain badan kita bersih juga harum.

Kita jarang berfikir, kalau kita mandi, cuci muka atau wudhu sehari berapa kali, seminggu berapa kali, pernahkah kita mewudhui, mencuci atau memandikan hati kita. Kita sadar atau tidak kalau daki-daki yang ada dalam badan kita kita bersihkan, kita gosok. Lalu kapan kita bersihkan hati kita, dan kita gosok hati kita, supaya karat-karat yang ada dalam hati, bersih. Sehingga seandainya hati bersih, bilamana karat-karatnya hilang, cahaya besi yang putih mengkilat itu akan Nampak.

Karat-karat tersebut saya umpamakan seperti penyakit hati, seperti takabur tersebut diatas. Apabila kita menyadari, terkadang kotoran hati itu sendiri mendorong kita berbuat satu kesyirikan yang kita sendiri tidak mengetahui. Lain daripada itu, kita banyak tertipu dengan peranan nafsu. Nafsu itu bagaikan anak kecil, nangisnya membuat hati kita iba, tertawanya membuat hati kita lega atau terhibur. Sadar atau tidak anak itu akan tumbuh besar. Bilamana kita tidak mengawasinya, mungkin akan kencing seenaknya. Berbeda pada waktu kencing masa bayi.

Dari sinilah Thoriqoh berperan untuk membersihkan segala penyakit hati. Kalau mandi mempunyai alat; air, sabun dan farfum. Sedangkan dalam membersihkan hati alatnya adalah dengan dzikir. Sebagaiama firman Allah: ‘Ala bidzikrillah tathmainna al qulub’, ketahuilah hanya dengan berdzikir pada Allah hati kita akan menjadi tentram.

Itulah diantaranya yang bisa membersihkan hati kita. Bilamana karatan-karatan ini terkikis sedikit demi sedikit dengan bidzikrillah akan membuka sedikit demi sedikit pancaran cahaya iman yang telah tumbuh di hati kita yang tadinya banyak terhalang dengan karatan-karatan yang ada dihati. Bilamana cahaya keimanan yang didukung dengan bidzikrillah itu mulai terpancar, maka akan mewarnai pandangan pola pikir, pandangan mata, telinga kita sampai pada perilaku-perilaku kita, yang jauh dari perbuatan-perbuatan yang tidak diridhoi oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Itulah Thoriqoh, mengantrar setiap individu manusia sehingga sampai kepada Allah Swt. Sadar bahwa dirinya selaku hamba, sadar kewajiban hamba pada Tuhannya. (tobe continu[Tsi])
Read More/Selengkapnya...

SAAT TERBAIK DALAM HIDUP

Suatu yang sudah menjadi kepastian dialami setiap makhluk adalah, ada dan tiada. Setiap makhluk asalnya tidak ada, lalu menjadi ada karena diciptakan Allah akan wujudnya. Setelah ada, Allah pun melengkapi-nya dengan sarana kebutuhan untuk mendukung keberadaannya. Inilah dua nikmat dasar yang Allah berikan pada setiap makhluk, yaitu nikmat penciptaan Allah atas wujud keberadaannya, dan nikmat yang kedua adalah nikmat diperlengkapi-nya setiap makhluk dengan sarana kebutuhan yang mendukung keberadaannya, agar terjadi keberlanjutan. Jika dua nikmat ini sudah dapat dirasakan oleh kita, maka kita akan selalu merasa fakir dan butuh terhadap pemberian Allah SWT setiap detik-nya.

Dzun-Nun Al-Mishri berkata:
Siapa yang dalam tauhid-nya merasa seolah-olah sebagai hasil kecerdasannya sendiri, maka tauhid-nya itu tidak dapat menyelamatkannya dari api neraka, sampai ia merasa bahwa tauhid-nya itu adalah karunia dari Allah SWT.

Sifat asli dari setiap makhluk adalah miskin, oleh karena itu mereka memerlukan bantuan dari Allah untuk memenuhi kebutuhannya. Jika setelah semua kebutuhannya terpenuhi lalu mereka lupa kepada Allah SWT, maka untuk mengingatkannya, Allah menimpakan berbagai macam kejadian kepada mereka, seperti penyakit, panas, haus, lapar, kesulitan, sedih, dan sebagainya, agar mereka ingat kembali kepada Allah SWT. Tapi diantara mereka ada yang ingat kembali kepada Allah dan ada yang tidak.

Saat terbaik dalam hidup kita adalah saat kita mengakui kefakiran dan merasa benar-benar bahwa kita sangat butuh pemberian Allah, tanpa Allah kita tidak mungkin hidup dan tidak ada yang bisa menolong selain-Nya. Inilah saat terbaik buat kita. Bisakah kita masuk dan berada dalam saat saat terbaik itu?
Read More/Selengkapnya...

BAHAYA MAKSIAT

Sudah selayaknya jika kita bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat iman dan ketaatan kepada-Nya. Kita yang mengaku beriman kepada Allah SWT dengan hati dan lisan, tapi sering dengan mudahnya kita meninggalkan perintah-Nya dan melakukan perbuatan maksiat bahkan kadang kita sering merencanakan bentuk kemaksiatan yang telah dianggap suatu hal yang wajar. Banyak Ulama mengatakan bahwa, maksiat itu sungguh lebih berbahaya dari suatu penyakit. Karena kemaksiatan dampaknya sngat buruk bagi moralitas diri dan masyarakat suatu bangsa yang dapat mendatangkan kemurkaan Allah SWT baik di dunia maupun akhirat yang berupa keburukan-keburukan, azab dan siksa yang pedih. Sedang penyakit, jika kita mau sedikit bersabar maka Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahan kita. Sebagaimana Nabi SAW pernah bersabda: Dari Ummul Ala', seorang wanita yang telah berbai'at dengan Rasulullah SAW. masuk Islam, ia berkata: "Saya dipanggil Rasulullah SAW pada waktu sakit." Beliau bersabda: "Wahai Ummul Ala', bergembiralah engkau, sebab Allah telah menghapus kesalahan-kesalahan orang Muslim dengan penyakit yang dideritanya, bagaikan api menghilangkan karat-karat besi dan perak." (HR. Abu Daud)

Hidup di zaman yang semua bidang kehidupan telah mencapai kemajuan yang sangat pesat. Tak terkecuali bentuk kemaksiatan pun mengalami perkembangan yang sama. Bahkan kita seperti tak mampu mengelak dari maksiat yang tersaji di berbagai media. Mungkin tiap hari kita telah melakukan kemaksiatan yang tak terhitung jumlahnya baik yang kita sadari atau tidak, baik maksiat hati maupun maksiat anggota badan. Jika kita telah merasa demikian, maka kita pun harus selalu memperhatikan setiap perilaku kita. Sekecil pun kita harus menahan rencana atau terbersit-nya niat dalam hati untuk berlaku maksiat. Jika orang arif bilang bahwa, ibadahnya orang awam adalah maksiat-nya orang khusus, maka lihatlah siapa diri kita? Jadi buat kita yang tergolong orang awam, maka tidaklah pantas jika kita menambah perilaku yang sudah jelas-jelas maksiat.

Kita yang telah dikaruniai oleh Allah nikmat iman dan ketaatan, maka hendaklah kita syukuri nikmat itu dengan selalu menjaga iman dengan ketaatan kepada Allah dan berusaha membersihkan diri dari laku maksiat.

Diantara bahaya yang ditimbulkan oleh laku maksiat adalah:

* Maksiat Menghalangi Ilmu Pengetahuan

Ilmu adalah cahaya yang dipancarkan ke dalam hati. Namun, kemaksiatan dalam diri kita dapat menghalangi dan memadamkan cahaya tersebut. Karena itu, tatkala imam syafi’i duduk di hadapan Imam Malik untuk belajar, Imam Malik sangat kagum akan kecerdasan dan daya hafalnya hingga beliau bertutur, “Aku melihat Allah telah menyiratkan cahaya di hatimu, wahai anakku. Janganlah engkau padamkan cahaya itu dengan maksiat. “Imam Syafi’i bertutur:

aku mengadu tentang kelemahan hafalanku yang buruk
Dia memberiku bimbingan untuk meninggalkan kemaksiatan
seraya berkata, “Ketahuilah, ilmu adalah karunia.
Dan karunia Allah tidak diberikan kepada si pelaku dosa dan kemaksiatan.

* Maksiat Menghalangi Rezeki

Di dalam musnad Ahmad disebutkan “Seorang hamba dicegah dari rezki akibat dosa yang diperbuatnya”

Jika ketakwaan merupakan penyebab datangnya rezeki, maka meninggalkannya dapat menimbulkan kekafiran. Tidak ada satupun yang dapat memudahkan rezeki Allah kecuali dengan meninggalkan maksiat.

* Maksiat Menimbulkan Jarak Dengan Allah

Jauhnya atau sunyinya hati seorang manusia dari cahaya Allah disebabkan oleh perbuatan maksiatnya. Tidak ada perbuatan meninggalkan dosa yang dapat menghilangkan kesunyian tersebut kecuali berwaspada dari perbuatan maksiat. Seseorang yang berakal tentu akan dengan mudah meninggalkan kesunyian tersebut. Diriwayatkan ada seorang laki-laki yang mengeluh kepada seorang yang arif tentang kesunyian jiwanya. Sang arif itu berpesan, “Jika kegersangan hatimu akibat dosa-dosa , maka tinggalkanlah. Dalam hati, tak ada perkara yang lebih pahit daripada kegersangan akibat dosa di atas dosa”.

* Maksiat Menjauhkan Pelakunya dengan Orang Lain

Kemaksiatan dapat menjauhkan seorang manusia dengan manusia yang lain, lebih-lebih dengan golongan yang baik. Semakin kuat tekanan perasaan tersebut, semakin jauhlah dia dari mereka dan semakin terhalangilah berbagai manfaat dari mereka; akhirnya dia semakin mendekati setan. Kesunyian dan kegersangan itu semakin menguat hingga berpengaruh pada hubungan dia dengan istri dan anak-anaknya, juga antara dia dengan nuraninya sendiri. Seorang salaf berkata, “sesungguhnya aku bermaksiat kepada Allah, maka aku lihat pengaruhnya pada perilaku binatang dan istriku”

* Maksiat Menyulitkan Urusan

Seorang pelaku maksiat akan menghadapi kesulitan dalam mengatasi segala masalahnya sebagaimana ketakwaan yang dapat memudahkan segala urusan. Karenanya, sungguh mengherankan jika seorang hamba sulit menghampiri pintu-pintu kebenaran sementara penyebabnya tidak ia ketahui.

* Maksiat Menggelapkan Hati

Pelaku maksiat akan senantiasa mengalami kegelapan hati seperti gelapnya malam. Ketaatan itu adalah cahaya sedangkan kemaksiatan adalah gelap gulita. Ibnu Abbas r.a berkata:

“Sesungguhnya perbuatan baik itu mendatangkan pencerahan pada wajah dan cahaya pada hati, kelapangan rezeki, kekuatan badan, dan kecintaan. Sebaliknya, perbuatan buruk itu mengandung ketidakceriaan pada raut muka, kegelapan di kubur dan di hati, kelemahan badan, susutnya rezeki, dan kebencian makhluk”.

* Maksiat Melemahkan Hati dan Badan

Jika kemaksiatan itu dianggap dapat melemahkan hati, itu sudah tidak diragukan lagi, bahkan kelemahan itu tidak akan lenyap sampai mati. Dan jika kemaksiatan dikatakan dapat melemahkan badan, itu karena kekuatan badan seorang mukmin terpancar dari kekuatan hatinya. Jika hatinya kuat, kuatlah badannya. Sedangkan, bagi pelaku maksiat, walaupun badannya kuat, sesungguhnya dia sangat lemah jika kekuatan itu sedang ia butuhkan, sehingga kekuatan yang ada pada dirinya sering menipu dirinya sendiri.

* Maksiat Menghalangi Ketaatan

Dosa dan maksiat akan menghalangi si pelaku dari ketaatan sehingga ia akan memutuskan ketaatan yang lain, dan terputuslah jalan ketaatan selanjutnya. Begitulah seterusnya. Akhirnya, putuslah setiap ketaatan yang nilainya lebih baik daripada dunia dan seisinya.

* Maksiat Membuat Umur Terasa Pendek dan Menghapus Keberkahan

Jika kebajikan dikatakan dapat menambah umur, otomatislah, maksiat dapat mengurangi umur. Pada dasarnya, umur manusia dihitung dari masa hidupnya. Sementara itu, tak ada yang namanya hidup kecuali jika dihabiskan dengan ketaatan, ibadah, cinta, dan dzikrullah, serta mementingkan keridhaan-Nya.

* Maksiat Menumbuhkan Maksiat Lain

Pada dasarnya manusia yang sudah terperangkap dalam kemaksiatan akan merasa sulit untuk keluar dan melepaskan diri darinya.

Diantara dampak negatif keburukan adalah menimbulkan keburukan yang lain. Sedangkan, pengaruh kebaikan adalah mendatangkan kebaikan berikutnya. Maka jika anda melakukan suatu kebaikan, kebaikan yang lainnya akan meminta untuk dilakukan, begitu seterusnya hingga anda memperoleh keuntungan yang berlipat ganda dan kebaikan yang tidak sedikit. Begitu juga halnya dengan keburukan. Dengan demikian ketaatan dan kemaksiatan merupakan sifat yang kokoh dan kuat serta menjadi kebiasaan yang teguh pada diri anda.

* Maksiat Mematikan Bisikan Hati Nurani

Inilah bahaya maksiat yang paling menakutkan karena kemaksiatan dapat menyebabkan putusnya secara perlahan-lahan keinginan untuk bertobat, hingga habislah sama sekali. Jika meninggal, setengahnya pun tak akan pernah dia bertobat kepada Allah. Justru dia datang dengan istighfar dan tobat gaya para orang munafik yang hanya di bibir sedangkan hatinya masih terus-menerus terjerat kemaksiatan yang masih tetap dijalaninya. Inilah penyakit yang paling berbahaya dan paling dekat dengan kebinasaan.

* Maksiat Menghilangkan Keburukan Maksiat Itu Sendiri

Jika kemaksiatan sudah menghilangkan anggapan kemaksiatan itu merupakan suatu keburukan, kemaksiatan akan menjadi adat kebiasaan sehari-hari yang menyebabkan pelakunya tidak memiliki rasa malu. Orang-orang fasik berpendapat bahwa hal itu merupakan puncak kebahagiaan dan kebanggan sehingga dengan bangganya dia berkata, “Hai Fulan, semalam aku telah berbuat anu….”. Orang seperti tiu tidak akan peduli dengan cemoohan orang lain. Dengan begitu, baginya jalan tobat sudah tertutup dan pintu-pintunya telah terkunci. Sehubungan dengan itu, Rasulullah saw bersabda :

“Setiap umatku dimaafkan kecuali yang beraksiat terang-terangan. Diantara maksiat terang-terangan adalah seorang hamba yang dengan bangganya menceritakan perbuatan maksiatnya, padahal Allah telah menutupi nya. Dia berkata, “Hai Fulan, kemarin aku berbuat anu … anu …” Dengan begitu, sebenarnya dia telah mengoyak kehormatan dirinya sendiri, padahal Allah telah menutupinya semalm-malaman. (HR. Bukhari-Muslim)

* Maksiat Warisan Umat Yang Pernah Diadzab

Homoseksual adalah warisan kaum Luth a.s. Berbuat curang dengan mengurangi dan melebihkan takaran adalah peninggalan kaum Syuaib a.s. Sombong di muka bumi dengan menciptakan berbagai kerusakan merupakan warisan Fir’aun dan kaumnya. Takabur dan congkak merupakan warisan kaum Hud a.s. Jika begitu dapatlah dikatakan pelaku maksiat pada zaman sekarang adalah kaum yang memakai baju umat-umat terdahulu dari golongan musuh Allah

* Maksiat Menimbulkan Kehinaan

Imam Hasan Basri berkata, “Mereka hina dan rendah dalam pandangan Allah SWT sehingga mereka pun sangat mudah bermaksiat. Sekiranya dalam pandangan Allah seseorang telah hina, tidak ada seorang pun yang memuliakan-nya. Kalau pun diantara lingkungannya yang menghormati dia, itu mereka lakukan karena pamrih atau takut.

* Maksiat Memudahkan Perbuatan Dosa

Kondisi maksiat yang sudah seperti itu merupakan cir-ciri kehancuran karena manakala dosa itu dianggap kecil atau ringan oleh hamba, dalam pandangan Allah SWT, dosa itu menjadi besar.

* Maksiat Mewariskan Kehinadina-an

Kemaksiatan dapat melahirkan kehinadinaan karena kemuliaan itu hanya akan muncul akibat ketaatan kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya ini:

“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah lah kemuliaan itu” (QS. Faathir: 10)

Karena itu, hendaklah kemuliaan itu diraih melalui ketaatan kepada Allah

* Maksiat Merusak Akal

Tidaklah seseorang bermaksiat kepada Allah sehingga akalnya hilang. Karena, sekiranya akalnya masih berjalan tentu akan mencegahnya dari kemaksiatan dan dia berada dalam genggaman dan kekuasaan Allah SWT. Sementara, malaikatnya menyaksikan. Nasihat Al-Qur’an pun mencegahnya, begitu juga dengan nasihat keimanan. Orang yang luput dari kemaksiatan adalah orang yang terbaik dan di akhirta kelak dia akan memperoleh kebahagiaan dan kenikmatan yang berlipat ganda. Maka, adakah orang yang memiliki akal sehat itu mau mendatang kemaksiatan yang penuh kehinadinaan?

* Maksiat Menutup Hati

Pada dasarnya kotoran hati timbul akibat kemaksiatan. Bertambahnya kemaksiatan menyebabkan kotoran semakin berkarat sehingga menjadi karakter yang mengalahkan peran jiwa. Hal seperti itu akan berakhir hanya kalau si pelaku mendapatkan hidayah. Kalau tidak, pelaku akan disetir kemaksiatan selamanya.

* Maksiat Dilaknat Rasulullah saw

Rasulullah saw telah melaknat perbuatan maksiat seperti mengubah penunjuk jalan padahal penunjuk jalan itu sangat penting, melakukan homoseksual, menyerupai laki-laki bagi perempuan atau menyerupai perempuan bagi laki-laki, mengadakan praktek suap-menyuap dan sebagainya. Semakin besar maksiat yang dilakukan, semakin besar laknat beliau atas mereka. Seseorang yang melakukan hal-hal seperti di atas, berarti dia telah meridhai dirinya dilaknat Allah SWT, Rasulullah saw, dan malaikat.

* Maksiat Meremehkan Allah

Jika seseorang berlaku maksiat, disadari atau tidak rasa untuk mengagungkan Allah perlahan-lahan lenyap dari hati. Jika perasaan pengagungan kepada Allah masih ada dalam hatinya, itu dapat mencegah seseorang dari berlaku masksiat.

-------------------------------------------
sebagian materi didapat dari sumber:
http://istiqom4h.wordpress.com/2008/07/26/pengaruh-dan-bahaya-maksiat/
Read More/Selengkapnya...

MEMPERINGATI MAULID NABI MUHAMMAD SAW.

Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw, jawaban Sayyid Muhammad Al-Maliki

Berkumpulnya orang-orang memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw pertama kali dilaksanakan pada tahun 1187 M di Mesir, pada masa pemerintahan Sultan Shalahuddin Al Ayyubi (1138-1193 M). Dengan harapkan dapat memberikan semangat jihad dan pengaruh psikologis yang dasyat dalam diri umat Islam yang saat itu sangat dibutuhkan untuk membebaskan Palestina dari cengkraman pasukan salib dari negeri-negeri Kristen Eropa. Dengan dilaksanakan peringatan Mauli ini, Sultan Shalahuddin Al Ayyubi berhsil menggugah kembali semangat jihad umat Islam hingga berhasil pula usaha pembebasan Palestina dari pasukan salib.

Peringatan Maulid hingga kini makin marak saja dilaksanakan oleh umat Islam di kebanyakan negara-negara Islam, terutama di Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk memelihara semangat dan ghirah keislaman umat. Meski hampir 10 abad dilaksanakan, tapi masih ada kalangan yang menolaknya. Di antara mereka mengatakan bahwa, orang-orang yang mengadakan peringatan Maulid Nabi menjadikannya sebagai hari raya ( 'Id ) yang syar'i, seperti 'Idul Fitri dan 'Idul Adha, padahal peringatan itu, menurut mereka, bukanlah suatu yang berasal dari ajaran Islam. Mereka juga mengatakan bahwa, acara peringatan Maulid Nabi adalah amalan bid'ah dan ungkapan-ungkapan dalam syair Maulid sarat mengandung kemusyrikan.

Menanggapi tuduhan-tuduhan mereka, ulama Ahlussunnah Waljama'ah, seperti Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki mengulas seputar Maulid Nabi sebagai jawaban atas tuduhan mereka. Beliau mengatakan sebagai berikut:

Hari Maulid Nabi Saw bukanlah 'id, dan kita tidak memandangnya sebagai 'Id, karena ia lebih besar, lebih agung dan lebih mulia dari 'Id. 'Idul Fitri dan 'Idul Adha hanya berlangsung sekali dalam setahun, sedang peringatan Maulid Nabi Saw, mengingat beliau dan sirahnya, harus berlangsung terus, tidak terkait waktu dan tempat.

Hari kelahiran beliau lebih agung dari pada 'Id. Mengapa? Karena beliaulah yang membawa 'Id dan berbagai kegembiraan yang ada di dalamnya. Karena beliau pula, kita memiliki hari-hari lain yang agung dalam Islam. Jika tidak ada beliau, tidak ada bi'tsah (dibangkitkannya beliau sebagai rasul), Nuzulul Qur'an (turunnya Al Qur'an), Isra' Mi'raj, hijrah, kemenangan dalam perang Badar, dan Fath Makkah (penaklukan Makkah), karena semua itu berhubungan dengan beliau dan dengan kelahiran beliau, yang merupakan sumber dari kebaikan-kebaikan yang besar.

Sebelum mengemukakan dalil-dalil dibolehkannya peringatan Maulid, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan acara Maulid.

Pertama
Kita memperingati Maulid Nabi SAW bukan hanya tepat pada hari kelahirannya, melainkan selalu dan selamanya, di setiap waktu dan kesempatan, ketika kita mendapatkan kegembiraan terlebih lagi pada bulan kelahiran beliau, yaitu Rabi'ul awal, dan pada hari kelahiran beliau, hari senin. Tidak layak bagi seorang yang berakal bertanya, "Mengapa kalian memperingatinya?" Karena, seolah-olah ia bertanya, "Mengapa kalian bergembira dengan adanya Nabi SAW?" Apakah sah jika pertanyaan ini timbul dari seorang muslim yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah? Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang bodoh dan tidak membutuhkan jawaban. Seandainya pun saya, misalnya, harus menjawab, cukuplah menjawab dengan, "Saya memperingatinya karena saya gembira dengan beliau karena saya mencintainya, dan saya mencintainya karena saya seorang mukmin."

Kedua
Yang kita maksud dengan peringatan Maulid adalah berkumpul untuk mendengarkan sirah beliau dan mendengarkan pujian-pujian tentang diri beliau, juga memberi makan orang-orang yang hadir, memuliakan orang-orang fakir dan orang-orang yang membutuhkan serta menggembirakan orang-orang yang mencintai beliau.

Ketiga
Kita tidak mengatakan bahwa peringatan Maulid itu dilakukan pada malam tertentu dan denan cara tertentu yang dinyatakan oleh nash-nash syari'at secara jelas, sebagaimana shalat dan ibadah yang lain. Tidak demikian. Peringatan Maulid itu tidak seperti shalat, puasa dan ibadah. Tetapi juga tidak ada dalil yang melarang peringatan ini, karena berkumpul mengingat Allah dan Rasul-Nya serta hal-hal lain yang baik adalah sesuatu yang harus diberi perhatian semampu kita, terutama pada bulan Maulid.

Keempat
Berkumpulnya orang untuk memperingati acara ini adalah sarana untuk dakwah, dan merupakan kesempatan yang sangat berharga dan tidak boleh dilewatkan. Bahkan, para da'i dan ulama wajib memperingatkan umat tentang Nabi, baik akhlaknya, hal ihwalnya, sirahnya, muamalahnya maupun ibadahnya, di samping menasihati mereka menuju kebaikan dan kebahagiaan serta memperingatkan mereka dari bala', bid'ah, keburukan dan fitnah.

Yang pertma merayakan Maulid Nabi SAW adalah Shahibul Mauid sendiri, yaitu Nabi SAW, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan Muslim bahwa, ketika ditanya mengapa puasa di hari senin, beliau menjawab, "Itu kelahiranku." Ini nash yang paling nyata yang menunjukkan bahwa memperingati Maulid Nabi adalah sesuatu yang dibolehkan syara'.

Dalil Dalil Maulid
Banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai dasar untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Pertama
Peringatan Maulid Nabi SAW adalah ungkapan kegembiraan dan kesenangan dengan beliau. Bahkan orang kafir saja mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu.

Kedua
Beliau sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah pada hari itu atas nikmatNya yang terbesar kepadanya.

Ketiga
Gembira dengan Rasulullah SAW adalah perintah Qur'an. Allah SWT berfirman: "katakanlah, 'Dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira'." (QS. Yunus: 58) Jadi, Allah menyuruh kita untuk bergembira dengan rahmatNya, sedang Nabi SAW merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al Qur'an, "Dan tidaklah Kami mungutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam." (QS. Al-An'am: 107)

Keempat
Nabi SAW memperhatikan kaitan antara waktu dan kejadian-kejadian keagamaan yang besar yang telah lewat. Apabila datang waktu ketika peristiwa itu terjadi, itu merupakan kesempatan untuk mengingatnya dan mengagungkan harinya.

Kelima
Peringatan Maulid Nabi SAW mendorong orang untuk membaca shalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta'ala, "Sesungguhnya Allah dan para malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya." (SQ. AL-Ahzab; 56)
Apa saja yang mendorong orang melakukan sesuatu yang dituntut oleh syara', berarti juga itu dituntut oleh syara'. Berapa banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya.

Keenam
Dalam peringatan Maulid disebut tentang kelahiran beliau, mukjiza-mukjizatnya, sirahnya dan pengenalan tentang pribadi beliau. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk meneladaninya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya. Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.

Ketujuh
Peringatan Maulid merupakan ungkapan ungkapan membalas jasa beliau dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepada beliau dengan menjelaskan sifat-sifat yang sempurna dan akhlaknya yang utama.
Dahulu, di masa Nabi, para penyair datang kepada beliau melantunkan qashida-qashidah yang memujinya. Nabi ridha (senang) dengan apa yang mereka lakukan dan memberikan balasan kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan. Jika beliau ridha dengan orang yang memujinya, bagaimana beliau tidak ridha kepada orang yang mengumpulkan keterangan tentang perangai-perangai beliau yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kepada beliau, yakni dengan menarik kecintaannya dan keridhaannya.

Kedelapan
Mengenal perangai beliau, mukjizat-mukjizatnya, dan irhashnya (kejadian-kejadian yang luar biasa, yang Allah berikan kepada diri seorang rasul sebelum diangkat menjadi rasul), menimbulkan iman yang sempurna kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.
Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, baik fisik (tubuh) maupun ahlaq, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan ahlaq dan perangai Nabi. Menambah kecintaan dan kesempurnaan iman adalah dua hal yang dituntut syara'. Maka, apa saja yang memunculkannya juga merupakan tuntutan agama.

Kesembilan
Mengagungkan Nabi SAW itu disyar'iatkan. Dan bahagia dengan hari kelahiran beliau dengan menampakan kegembiraan, membuat jamuan, berkumpul mengingat beliau, serta memuliakan orang-orang fakir, adalah tampilan pengagungan, kegembiraan dan rasa syukur yang paling nyata.

Kesepuluh
Dalam ucapan Nabi SAW tentang keutamaan hari jum'at, disebutkan bahwa salah satu dianaranya adalah, "Pada hari itu Adam AS diciptakan," Hal itu menunjukkan dimuliakannya waktu ktika seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari dilahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang paling mulia?

Kesebelas
Peringatan Maulid adalah perkara yang dipandang bagus oleh para ulama dan kaum muslimi di seluruh negeri dan telah dilakukan di semua tempat. Karena itu, ia dituntut oleh syara', berdasarkan kaidah yang diambil dari hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud, " Apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah".

Kedua belas
Dalam peringatan maulid tercakup berkumpulnya umat, dzikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi SAW. Semua itu dituntut oleh syara' dan terpuji.

Ketiga belas
Allah SWT berfirman, "Dan semua kisah-kisah dari rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu, yang dengannya Kami teguhkan hatimu." (QS.Hud: 120). Dari ayat ini nyatalah bahwa, hikmah dikisahkannya para rasul adalah untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak diragukan lagi bahwa saat ini pun kita butuh untuk meneguhkan hati kita dengan berita-berita tenteng beliau, lebih dari kebutuhan beliau akan kisah para nabi sebelumnya.

Keempat belas
Tidak semua yang tidak pernah dilakukan oleh para salaf dan yang tidak ada di awal Islam berarti bid'ah yang mungkar dan buruk, yang haram untuk dilakukan dan wajib unuk ditentang, melainkan apa yang "baru" itu (yang belum dilakukan) harus dinilai berdasarkan dalil-dalil syara'.

Kelima belas
Tidak semua bid'ah itu diharamkan. Jika haram, niscaya haram-lah pengumpulan Al Qur'an yang dilakukan Abu Bakar, Umar, dan Zaid, dan penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya para sahabat yang hafal Qur'an. Haram pula apa yang dilakukan Umar ketika mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan shalat tarawih, padahal ia mengatakan, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini." Banyak lagi perbuatan baik yang sangat dibutuhkan umat akan dikatakan bid'ah yang haram apabila semua bid'ah itu diharamkan.

Keenam belas
Peringatan Maulid Nabi meski tidak ada di zaman Rasulullah SAW, sehingga merupakan bid'ah hasanah (bid'ah yang baik), karena ia tercakup di dalam dalil-dalil syara' dan kaidah-kaidah kulliyyah (umum).

Ketujuh belas
Semua yang tidak ada pada masa awal Islam dalam bentuknya tetapi perincian-perincian amalnya ada, juga dituntut oleh syara'. Karena, apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syara' , itu pun dituntut oleh syara'.

Kedelapan belas
Imam Asy-Syafi'i mengatakan, "Apa-apa yang baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi SAW) dan bertentangan dengan Kitabullah, sunnah, ijma' atau sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah bid'ah yang sesat. Ada pun suatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan yang tersebut itu adalah terpuji".

Kesembilan belas
Setiap kebaikan yang tercakup dalam dalil-dalil syar'i dan tidak dimaksud untuk menyalahi syari'at dan tidak pula mengandung suatu kemungkaran, itu termasuk ajaran agama.

Kedua puluh
Memperingati Maulid Nabi SAW berarti menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu menurut kita disyari'atkan dalam Islam. Sebagaimana yang anda lihat, sebagian besar amaliyah haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang telah lalu.

Kedua puluh satu
Semua yang disebut sebelumnya tentang dibolehkannya secara syari'at peringatan Maulid Nabi SAW hanyalah pada peringatan-peringatan yang tidak disertai perbuatan mungkar yang tercela, yang wajib ditentang. Ada pun jika peringatan Maulid mengandung hal-hal yang disertai suatu yang wajib diingkari, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, dilakukan perbuatan-perbuatan yang terlarang, dan banyaknya pemborosan dan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diridhai shahibul maulid, tak diragukan lagi bahwa itu diharamkan. Tapi keharamannya itu bukan pada peringatan Maulidnya itu sendiri, melainkan pada hal-hal yang terlarang tersebut.

------------------------------------------------------
oleh : musthaf
sumber bacaan: ALKISAH NO.06/10
Read More/Selengkapnya...

Rabu, 06 April 2011

ANTARA KHAUF DAN RAJA'

Khauf dan Rajaa'


Berjalan mendekatkan diri dan mencari keridloan Allah, dihadapan kita banyak dijumpai rintangan dan hambatan baik yang datang dari luar maupun dari dalam diri kita, yang terang-terangan (yang disadari) maupun yang tersembunyi (tidak disadari). Untuk menghadapi itu semua maka kita harus mempunyai rasa takut terhadap amcaman azab Allah (Khauf) dan pengharapan terhadap rahmat Allah (Raja') serta memenuhi perimbangan antara khaf dan raja'.


ALASAN PENTINGNYA RASA KHAUF

Pertama.
Agar terhindar dari kemaksiatan. Sebab nafsu yang ada pada diri kita sangat cenderung melakukan perbuatan. Sebab nafsu yang ada pada diri kita sangat cenderung melakukan perbuatan jahat, dan selalu bermain mata dengan fitnah. Seperti tidak ada henti-hentinya nafsu ini mendorong dan menarik kita pada perbuatan demikian. Oleh karena itu kita harus mengancam dan membuat nafsu itu menjadi takut, dengan cara mencambuk dan mendera, baik berupa ucapan tindakan maupun pikiran. Sebagaimana yang dituturkan seorang shaleh, "Suatu ketika nafsuya mengajak berbuat maksiat, lalu ia keluar dan berguling- guling di atas pasir yang panas seraya berkata kepada nafsunya: "Rasakanlah! Neraka jahanam itu lebih panas dari pada apa yang anda rasakan ini. Paada malam hari engkau menjadi bangkai, sementara siang harinya menjadi pemalas."

Kedua.
Agar tidak ujub atau berbangga diri/sombong pada ketaatan dan amal shalehnya. Sebab jika sampai bersikap ujub, maka dapat menyebabkan celaka. Sekalipun kita sedang berbuat ketaatan, kita harus selalu waspada terhadap nafsu. Nafsu harus tetap dipaksa dengan dicela dan dihinakan tentang apa yang ada padanya, berupa kejahatannya, dosa-dosa dan berbagai macam bahayanya.

Diceritakan dari Hasan Bashri, bahwa ia berkata: "Salah seprang diantara kita tidak aka aman, setelah melakukan dosa, sementara pintu ampunan telah ditutup, tanpa bisa memasukinya. sehingga salan seorang dari kita yang berbuat maksiat itu, brarti berbuat tidak pada tempatnya."

Abdullah bin Mubarak ppernah mencela nafsunya sendiri dengan berkata: "Ucapan anda seperti ucapan orang zuhud, tapi perbuatan anda seperti perbuatan orang munafik. Sementara anda ingin masuk surga. Jauh amat, mana mungkin? Surga itu ada orang-orangnya sendiri. Orang-orang yang masuk surga itu tidak beramal seperti yang anda lakukan."

Ucapan peringatan seperti itu sebaiknya sering diulang-ulang, untuk mengingatkan diri sendiri, agar tidak bersikap ujub dalam melakukan ketaatan dan agar tidak terjerumus pada kemaksiatan.

ALASAN PENTINGNYA MEMILIKI RASA RAJA'

Pertama.
Agar bersemangat dalam melakukan ketaatan. Sebab berbuat baik itu beradan setan senantiasa mencegahnya, hawa nafsu tah henti-hentinya mengajak paa selain yang baik. Seperti keadaan kebanyakan orang yang lalai, mereka mempunyai watak menuruti hawa nafsu secara terang-terangan.Sedang pahala yang dicari dengan ketaatan itu tidak kelihatan mata dan bersifat gaib. Sementara jalan memperoleh pahala itu begitu jauh.
Apabila demikian keadaannya, tentu nafsu tidak bersemangat dalam mengerjakan kebaikan, tidak menyukai dan tidak pula mau bergerak guna melakukan kebaikan. Dalam menghadapi hal ini, harus dihadapi dengan raja' yang kuat, mengharap rahmat Allah dan kebaikan pahala-Nya.

Guru Imam Ghozali berkata: "Kesedihan itu dapat mencegah manusia dari makan. Khouf dapat mencegah orang berbuat dosa. Sedang raja' bisa menguatkan keinginan untuk melakukan ketaatan. Ingat mati dapat menjadikan orang bersikap zuhud dan tidak menganbil kelebihan harta duniawi yang tidak perlu.

Kedua.
Agar merasa ringan menanggung berbagai kesulitan dan kesusuhan.
Barang siapa telah mengetahui kebaikan akan sesuatu yang menjadi tujuan, tentu menjadi ringan untuk mengeluarkan apa yang perlu diberikan. Ketika orang benar-benar menyukai sesuatu, tetnu ia sanggup memikul beban beratnya dan tidak akan peduli apa yang akan ia hadapi dan berapapun ongkosnya. Jika seorang telah benar-benar mencintai orang lain, tentu ia dengan senang hati ikut menanggung cobaan orang yang ia cintai itu. Bahkan merasa senang dengan cobaan itu.
Coba lihat orang yang mengambil madu di sarang lebah, ia tidak mempedulikan sengatan lebah itu. karena ingat akan manisnya madu. Begitu pula orang-orang yang tekun beribadah, mereka bersungguh-sungguh apabila ia teringat surga yang indah dengan berbagai kenikmatannya, kecantikan bidadari-bidadarinya, kemegahan istananya, kelezatan makanan dan minumannya, keindahan pakaian dan keelokan perhiasannya dan semua apa yang disediakan Allah di dala surga. Mereka merasa ringan menanggung beban kepayahan dalam beribadah, walaupun tidak sempat merasakan kenikmatan dan kelezatan dunia.

Diceritakan, bahwa murid-murid Sufyan Ats-Tsauri berkata kepadanya, mengenai ketakwaan dan kesunguhan ibadahnya serta kesahajaan keadaannya yang selama ini mereka liat. Mereka berkata: "Wahai Ustadz, seandainya Anda mau mengurangi kepayahan yang demikian itu, tentu Anda tetap dapat mencapai maksud Anda, insya Allah,"
Sufyan menjawab, "Bagaimana aku tidak bersungguh-sungguh, sebab aku pernahmendengar bahwa ahli surga itu berada pada tempat mereka, lalu datanglah nur yang menerangi delapan surga. Mereka menyangka bahwa nur itu datang dari sisi Allah, maka mereka pun menyungkurkan wajahnyabersujud. Lalu ada panggilan dari arah Allah: " Wahai penduduk surga! Anggkatlah kepala Anda! Apa yang Anda sangka itu tidak lain hanyalah nur seorang bidadari yang tersenyum didepan suaminya."

Selanjutnya Sufyan mendendangkan bait-bait syairnya:

"Tidak akan emerasakan keberatan menghadapi bahaya
orang yang surga Firdaus sebagai tempatnya.
Kamu dapat melihatnya berjalan dalam keadaan menanggung
sedih dan gelisah khawatir dan takut,
menuju ke masjid-masjid
berjalan dengan pakaian yang sederhana dan lusuh
Hai nafsu!
Kamu pasti tidak akan kuat menahan jilatan nyala api
yang berkobar-kobar
sudah saatnya kau menghadap, setelah lama berpaling."

Saya katakan, jadi pokok urusan ibadah itu berkisar pada dua ha, yaitu melakukan taat kepada Allah dan menghentikan laku maksiat. Keduanya tidak akan berjalan dengan baik dan sempurna, sementara nafsu senantiasa mengajak pada kejahatan.

Nafsu semacam itu harus diatasi dengan membuat senang kepada pahala Allah dan menakut-nakuti dengan siksa-Nya, berharap akan janji Allah, sekali gus menakut-nakuti dengan siksa azab-Nya. Karena binatang binal saja membutuhkan orang yang menuntun dan menggiring. Ketika terjerumus ke jurang, kadang-kadag perlu dicambuk dengan cemeti, disamping diperlihatkan gandum (makanan kesukaannya) kepada binatang itu, agar ia segera bangkit dan selamat dari jurang itu.

Begitu pula dengannafsu, ia seperti binatanag binal yang terperosokke dalam jurang kecintaan dunia. Maka harus dicambuk dengan ditakut-takuti siksa dan dihalang-halangi, disamping diberi harapan dengan perkara yang menyenangkan dan dengan menuntunya. Demikian pula seorang hamba yang hendak ibadah dan riyadhoh, harus mendidik nafsunya dengan dua hal tersebut, yaitu dengan Raja' dan khauf. Jika tidak, maka nafsu tidak akan mau diajak ibadah.Dalam kontek inilah banyak ayat-ayat Al Qur'an yang menyebut dua hal tersebut, mengenai janji da ancaman, janji dan pahala surga yang menyenangkan dan ancaman siksa yang menakutkan.
Penjelasan megenai janji pahaa yang menggiurkan membuat seseorang tidak sabar untuk segera meraihnya. Sementara mengenai ancaman siksa neraka yang mengerikan, membuat seorang tidak memiliki kesabaran untuk segera lari menjauhinya.

Demikian, Kita harus memiliki rasa takut pada azab Allah yang amat pedih (khauf), dan harapan akan janji pahala surga yang penuh kenikmatan (raja'), agar tujuan ibadah yang dimaksud dapat tercapai. Dan kita pun menjadi merasa ringan kemasyakatan dalam menjalani ibadah. Kepada Allah kita memohon petunjuk, dengan anugrah dan rahmat-Nya.
Read More/Selengkapnya...