Rabu, 14 April 2010

Kiat Memperoleh Kebahagiaan

Kebahagiaan merupakan dambaan setiap orang, karena itu seluruh aktivitas manusia, yang bekerja keras siang malam, yang memeras keringat banting tulang, bahkan yang sampai merantau ke negeri orang, ujung-ujungnya adalah dimaksudkan untuk memperoleh kehidupan yang bahagia.

Dalam pandangan Islam terdapat empat point yang dapat menjadi kunci bagi terbukanya pintu kebahagiaan, yakni :

Pertama, Memperbanyak mengingat dosa.

Pada hakekatnya kebahagiaan itu bersumber dari Allah dan berpusat dihati manusia. Hati yang bersih, bening, cerah, tenang dan stabil akan memperlancar aliran kebahagiaan dari sumber asalnya. Sementara perbuatan dosa yang dilakukan seseorang akan mengakibatkan hati yang bersangkutan menjadi kacau, kotor dan gelap, dan apabila dosa kian bertumpuk, hati bukan saja kotor tetapi akan berubah menjadi kotoran itu sendiri, sehingga sangat sulit mencapai kebahagiaan.

Disebutkan dalam sebuah hadits “Sesunguhnya orang mu’min apabila berbuat dosa terbentuklah noda-noda hitam dihatinya, bila dosa bertambah maka bertambah pula noda-noda hitam itu sehingga tertutuplah hatinya. Dan apabila dia bertaubat dan menghentikan perbuatannya serta memohon ampun kepada Allah, maka hati itu akan kembali mengkilap”. (Hr. Turmudi)

Maka seseorang yang selalu mengingat dosanya akan terdorong untuk terus berupaya bertaubat dan mohon ampun kepada Allah serta meneguhkan tekadnya untuk tidak mengulanginya kembali.

Ditegaskan dalam Alqur’an “Dan orang-orang yang apabila telah berbuat keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka…. dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, bagi mereka balasannya adalah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya. (Qs. 3 : 135 – 136)

Dengan demikian, bagi Islam, orang baik bukanlah orang yang tidak pernah berbuat salah atau dosa, tetapi yang secepatnya menyadari kesalahannya dan segera memohon ampun atau bertobat kepada Allah swt.

Kedua, Melupakan kebaikan yang telah dilakukan.

Seseorang yang melupakan kebaikannya akan membuatnya menyadari bahwa investasi akheratnya masih minim sehingga mendorongnya untuk terus beramal lebih giat lagi. Sebaliknya mereka yang selalu mengingat kebaikannya membuatnya merasa telah cukup beramal dan cepat puas sehingga kehilangan semangat untuk berbuat lebih banyak lagi.

Kecuali itu, seseorang yang merasa amalnya telah banyak menganggap dirinya telah layak menerima anugerah Allah, padahal sungguh, kendati seluruh hidupnya digunakan untuk berbuat baik kepada Allah, niscaya belum cukup membeli anugerah Allah swt. Apalagi amalnya memang sedikit dan masih banyak virusnya, seperti riya’ dan ujub, karena itu sungguh kita tidak bisa mengandalkan amal kita dihadapan Allah, yang dapat kita lakukan hanyalah mengharap kasih sayang dan ridloNya.

Dalam sebuah hadits disebutkan : Seorang masuk sorga bukan karena amalnya, tetapi karena kasih sayang (rahmat) Allah ta’ala. (Hr. Muslim). Karena itu Rasul saw selalu berdoa “Tuhanku, ampunanMu lebih aku harapkan dari amalku, kasihMu jauh lebih luas dari dosaku, jika dosaku besar disisiMu, ampunanMu jauh lebih besar dari dosa-dosaku. Jika aku tidak berhak untuk meraih kasihMu. KasihMulah yang pantas untuk mencapaiku, sebab kasih sayangMu meliputi segala sesuatu”.

Ketiga, Dalam soal agama mesti mengaca pada orang yang diatasnya.

Artinya untuk urusan agama dan kebaikan kita mesti memegang prisip bahwa bila orang lain mampu menguasai ilmu agama dan mampu beribadah sesuai ilmunya sehingga memperoleh derajat yang tinggi disisi Allah, kenapa kita tidak, toh kita semua telah dilengkapi oleh akal dan hati yang sama oleh Allah swt.

Dalam Islam, ilmu agama merupakan sesuatu yang penting dan terhormat, ia dianggap cahaya yang dapat menerangi kegelapan, mengingat begitu terhomatnya posisi ilmu agama bagi seseorang, maka Nabi saw menegaskan ”Kelebihan seorang alim (ahli ilmu) atas seorang ‘abid (ahli ibadah) ibarat bulan purnama terhadap seluruh bintang ” (Hr. Abu daud). Bahkan orang yang merintis “saja” jalan mencari ilmu agama oleh Allah akan dimudahkan buatnya jalan ke sorga.

Keempat, Dalam soal dunia mesti mengaca pada orang yang dibawahnya.

Bila dalam soal agama kita mesti mengaca dan mengacu pada orang yang diatasnya sehingga termotivasi untuk berlomba dalam kebaikan, maka dalam soal dunia, mengacanya bukan pada orang yang diatasnya tetapi pada orang yang berada dibawahnya.

Hal ini dimaksudkan untuk soal dunia kita belajar menjadi orang yang pandai bersyukur, sebab di dunia ini masih banyak orang lain yang nasibnya jauh lebih sengsara dari kita, karena itu betapapun keadaan kita saat ini mesti disyukuri, bila kebetulan kita hanya punya motor, maka syukurilah, karena masih banyak orang lain yang kemana-mana hanya dengan berjalan kaki. Bila kebetulan kita tidak punya apa-apa tetapi masih mampu berjalan kaki, maka syukurilah, karena tidak sedikit orang lain yang berjalan saja tidak mampu karena dikeroyok penyakit yang tak kunjung sembuh, begitulah seterusnya.

Selain itu sikap diatas akan mengantarkan kita belajar menjadi qona’ah, yakni ridlo dengan apapun yang telah menjadi keputusan Allah atas diri kita. Orang qona’ah hidupnya sangat tenang dan damai, sebab dirinya tidak mau diperbudak oleh berbagai macam keinginginan atas dasar keserakahan, ia tidak mau tergiur mengejar mati-matian sesuatu yang tidak bisa dibawa mati.

Dalam Alqur’an disebutkan ” Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar (Qs. 9 : 100)

Demikianlah empat kiat yang dapat menjadi kunci bagi terbukanya pintu kebahagiaan.

0 komentar:

Posting Komentar